Rabu, 14 Januari 2015

Balada Cinta

Adakalnya saya merasa kesal dengan sikap Schopenhauer tentang cinta. Ia berpandangan begitu sinis terhadap cinta, dengan mengatakan bahwa sesungguhnya cinta hanyalah kedok bagi dorongan biologis kita. Dalam kata lain, cinta itu sebenarnya hanyalah pemanis dari relasi sesungguhnya yaitu kegiatan propagasi, atau reproduksi.  Pernyataan Schopenhauer meski dingin dan sinis, nyatanya mengandung nilai kebenaran, sebagian besar manusia yang mengaku memiliki cinta, mereka terkadang hanya menginginkan relasi seksual. Tetapi tidak semua cinta bisa diterjemaahkan sebagai gairah seksual, adapula yang menghayati cinta lebih dari dorongan seks semata, tetapi kesempatan untuk berkomitmen, berdialog dan mendewasa.
Pada awalnya, 200.000 tahun yang lalu, kenyataan berpihak pada Schopenhauer. Manusia purba hidup berpindah-pindah, berganti-ganti pasangan, upaya mendekati lawan jenis hanyalah sebatas dorongan seksual dan reproduksi. Tidak ada kompleksnya cinta romantis. Tetapi otak manusia berevolusi, dan terciptalah suatu konsepsi tentang relasi monogami dan cinta romantis. Para biolog seperti Darwin mengatakan bahwa, pendekatan, pengejaran, serta kebahagiaan berpasangan adalah bagian dari kemampuan spesies untuk terus bertahan hidup. Senada dengan Schopenhauer, Darwin akan mengatakan bahwa cinta menjadi modus spesies untuk bisa melanggengkan gennya.
Bila Schopenhauer benar, dan Darwin juga, alangkah menyedihkannya bila ternyata cinta hanyalah impuls semata. Khususnya bagi mereka yang meyakini bahwa cinta tidak sekedar rekayasa otak, tetapi sesuatu yang riil, sesuatu yang menjadi penopang utama seorang manusia. Tetapi di satu sisi, saya menimbang bahwa ada masanya pula cinta terlalu rumit untuk dicerna nalar saya. Cinta jauh lebih jelas, terstruktur serta gamblang dalam pemahaman Darwin dan Schopenhauer. Sementara bagi saya cinta para pujangga, para filosof romantik terlampau membesar-besarkan drama percintaan dengan mengatakan bahwa cinta memang harus gamang, membingungkan, menyiksa serta menyakiti subjek.
Ada alasannya saya menulis ini. Tanpa maksud menceramahi apalagi menjadi pakar soal cinta. Tetapi ini hasil refleksi berpikir saya, yang sangat ingin saya bagi dengan teman-teman pembaca blog. Cinta tidak harus menjemukan seperti Schopenhauer, tetapi cinta juga tidak perlu membunuh seperti anggapan kaum romantis. Cinta bisa memerdekakan, cinta juga bisa menjadi pengada eksistensi kita, tentunya bila kita menginginkan cinta semacam ini.
Cinta yang berkepentingan.
Sebelum protes dengan sub judul ini, saya akan jelaskan mengapa berkepentingan itu sangat mendasar dalam membangun relasi percintaan yang adil. Iya, cinta memang harus adil. Jangan anggap bahwa mendominasi, dan nikmat direpresi oleh pasangan itu adalah hakekat cinta. Itu propaganda tidak konstruktif tentang cinta. Anda harus punya kepentingan dalam percintaan. Bahwa individualitas anda tidak serta-merta lebur ketika anda berpasangan. Anda tetaplah subjek yang sama, yang berhak menjaga individualitas anda, menikmati karakteristik individual anda.
Erich Fromm menawarkan konsep yang menarik, “Standing in Love” dibandingkan “Fallin in Love” Intinya, jangan mencintai karena kita menyukai rasa kecemasan serta kebutaan ketika sedang jatuh cinta. Cintailah seseorang dengan klaritas. Jangan jatuh ketika mencintai, tetapi berdirilah. Ketahuilah secara jelas tentang perasaan cinta tersebut. Apa makna komitmen, bahwa janji tersebut suatu kontrak diantara dua individu, bila salah satunya tidak memenuhi perjanjian tersebut maka tinggalkan cinta itu, atau bahasa kontraktariannya ‘dissolution’ berpisah.
Membaca dua paragraf diatas giliran anda yang kesal kepada saya, anda akan mengerutkan kening lalu bertanya, apa enaknya cinta tanpa romantisisme? Lebih ekstremnya lagi, mungkinkah ada cinta tanpa romantisisme? Jawaban saya sederhana, romantis itu tahap. Itu bukan keseluruhan kisah tentang cinta. Kalau anda hanya menginginkan roman, maka, anda akan terus mengejar ilusi cinta sang pujangga Kahlil Gibran. Tentunya kita ingin bertumbuh dalam soal percintaan. Cinta itu sepantasnya membentuk watak serta membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Alangkah membosankannya bila kita terbentur dalam kehidupan repetitif seorang Giacomo Cassanova, mengulangi rutinitas yang sama, mengejar untuk memuaskan relasi seksual semata?  Tidakah anda ingin melewati babak-babak penting tersebut. Menjalani episode-episode relasi cinta tersebut dan terus berkembang?
Balada Coklat
Hal yang memicu saya untuk menulis topik cinta ini sebenarnya dikarenakan karena coklat. Beberapa saat yang lalu selepas mengisi materi dalam suatu diskusi di Utan Kayu saya terserang alergi yang serius. Tanpa obat alergi di tas, saya tergesa-gesa pulang. Ketika turun dari mobil, saya sudah disorientasi, dengan wajah yang bengkak, kaki yang bengkak begitu juga lengan. Saya jarang menangis, tetapi malam itu rasa sakitnya sungguh-sungguh tidak tertahankan. Saya kesulitan bernafas dan nyaris dilarikan ke rumah sakit.  Untunglah, selepas menegak Dextamine dan Lamisil, reaksi alergi tersebut mereda.
Saya sempat berpikir ketika sedang kesakitan, alangkah konyolnya bila saya harus mati karena coklat? Pagi harinya saya berpikir, betapa kejamnya hidup, saya menyukai coklat, tidak pernah bisa terpuaskan oleh coklat, tetapi kenyataannya saya alergi berat terhadap coklat.
Apa kaitannya dengan cinta? Bodohnya, satu hari sembuh dari serangan alergi tersebut, saya membeli coklat di kantin, alasannya saya butuh coklat untuk menjalani aktifitas yang berat. Yah cinta yang destruktif itu bisa dianalogikan seperti coklat dan alergi. Sudah pasti menyebabkan reaksi kimia yang mematikan tetapi masih saja dikonsumsi. Cinta romantis yang destruktif, menyiksa seperti ini pernah dikatakan oleh Helen Fisher sebagai senyawa yang adiktif di otak. Itu mengapa mereka yang pernah hancur karena cinta, kerap kali mengulangi pola cinta yang destruktif. Karena apa? Tidak berbeda jauh dari memakan coklat menurut saya, sensasinya, kita kecanduan akan sensasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar