“Manusia adalah makhluk seksual.” Inilah asumsi yang muncul ketika sekilas menelaah literatur kuno Kama Sutra. Kesalah pahaman yang sering terjadi adalah pandangan yang mengganggap bahwa Kama Sutra hanya menggambarkan secara dangkal tentang nafsu manusia terhadap seks. Nyatanya bila dipahami lebih mendalam, Kama Sutra memberikan ilustrasi yang tidak saja indah, tetapi juga paparan filosofis yang substansial tentang kondisi alamiah manusia.
Endapan Filosfis dari Teks Kama Sutra
Kama Sutra secara etimologi berarti Kama, atau cinta, gairah, sedangkan Sutra adalah ajaran atau aturan, sehingga dalam pengertian utuhnya Kama Sutra dapat dimengerti sebagai kompendium ajaran-ajaran mengenai cinta. Di dalam ajaran agama Hindu, Kama Sutra dihormati sebagai salah satu dari Veda Smrti. Kedudukan Kama Sutra sebagai Veda Smrti menunjukan bahwa kandungan yang terkompilasi di dalamnya memuat kebijaksanaan dari Veda sebagai kitab suci agama Hindu. Kama Sutra dari Vatsyayana dikenal sebagai salah satu saja dari rangkaian Kama Shastra. Di India, dikenal berbagai macam kitab atau teks yang memuat topik seksualitas dari berbagai nama penulis. Bagaimanapun juga, kedudukan dari teks-teks ini tetaplah Smrti (tafsir) bukan Sruti (wahyu), oleh karena itulah sesungguhnya materi dari Vatsyayana sendiri terbuka untuk perdebatan dan diskusi yang disesuaikan dengan konteks kemajuan zaman.
Dalam mengkompilasikan aturan-aturan relasi intim antara perempuan dan laki-laki, Vatsyayana menggunakan bahasa Sanskerta yang sederhana. Berbeda di zamannya dimana aporisme teks-teks sarat akan metafora dan analogi, Vatsayayana menginginkan karyanya menjadi sedemikian jelas dan mampu dicerna oleh siapapun. Kama Sutra diduga dikompilasikan oleh Vatsyayana pada abad 2 Masehi, teks ini terdiri dari 1250 penggalan aporisme, ia dibagi menjadi 7 bagian besar, dimana 7 bab tersebut terdiri atas 36 subbab. Di dalam sejarah Barat, teks Kama Sutra sendiri baru dikenal pada tahun 1883. Tersibaknya teks Kama Sutra untuk dunia Barat disebabkan oleh seorang penjelajah bernama Sir Richard Francis Burton, meski dengan keterbatasan translasi, Burton adalah orang pertama yang menterjemaahkan Kama Sutra ke dalam bahasa Inggris.
Kama Sutra dipandang oleh umat Hindu sebagai kitab yang signifikan dalam memandu kehidupan etis manusia. Dimana teks ini mendeskripsikan dengan indah proses keintiman yang terjadi diantara sepasang manusia. Mengapa Kama Sutra disanjung sebagai pedoman penting dalam mencapai kebahagiaan ? Garis besar keyakinan dari agama Hindu adalah cinta. Hinduisme meyakini bahwa proses keintiman mencitrakan eksistensi manusia yang tinggi. Agama Hindu memahami bahwa proses reproduksi dari manusia bukanlah suatu kegiatan yang mekanistik semata, tetapi proses penyatuan tersebut bersifat esensial dan estetis. Disinilah letak spiritualisme Kama Sutra, pemahaman bahwa seks bukanlah habituasi monoton dari manusia, tetapi merupakan suatu proses seni yang alamiah dan agung.
Bagian filosofis dari Kama Sutra terletak di bagian pengantar atau Bab kedua. Pada bagian ini Vatsyayana mengutip Veda, yaitu dalam hubungannya dengan Catur Purusarthas. Catur Purusarthas, atau Empat Tujuan Hidup merupakan pandangan hidup umat Hindu yang mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari pertama, Dharma atau kebaikan, kedua adalah Artha atau kesejahteraan materiil, ketiga adalah Kama, yaitu cinta dan kepuasan indrawiah dan yang terakhir adalah Moksha, atau pembebasan diri menuju Tuhan. Vatsyayana menuliskan, “Dharma lebih baik dari Artha, sedangkan Artha lebih baik dari Kama.”(Kama Sutra I.2.14) Melalui statemen singkat ini Vatsyayana menekankan bahwa kebaikan dan kebijaksanaan adalah pencapaian yang tertinggi apabila dibandingkan dengan kekayaan dan cinta. Kemudian apakah substansinya aktivitas Kama atau cinta, apabila tujuan utama dari manusia adalah Dharma atau kebaikan? Vatsyayana berargumentasi secara baik, dalam realitasnya manusia telah diberikan kemampuan dan keistimewaan untuk merasakan kenikmatan dan mengkontemplasikan kenikmatan, “Seksualitas adalah esensial dalam keberlangsungan hidup manusia”(Kama Sutra II.37).
Memang gratifikasi seksual itu penting ungkap Vatsyayana, tetapi ia juga mengingatkan bahwa kebijaksanaan atau Dharma melampaui segala Artha dan Kama. Ia menuliskan, “Tidak sedikit pula yang dihancurkan, karena membiarkan diri mereka dikuasai oleh nafsu (pradhanya kama)”(Kama Sutra, II.37). Kehancuran yang dimaksud oleh Vatsyayana adalah ketika seseorang gagal dalam mengemban Empat Tujuan Hidup, selepas mengalami kesejahteraan materiil dan cinta, tahap selanjutnya yang lebih tinggi adalah pembebasan atau Moksha. Secara sederhana Vatsyayana menggaris bawahi bahwa segala kepuasan itu adalah tahap dalam kehidupan seseorang, hendaknya ia jangan menganggap bahwa tahap Kama adalah tahap yang final. Pemahaman ini lahir dikarenakan konsep Dukkha, bahwa segala kenikmatan dapat juga menyebabkan kesengsaraan. Kesadaran bahwa kenikmatan itu sementara dan semata-mata hanya satu babak singkat dalam kehidupan manusia, akan mencerahkan dan mendorong manusia mencari kondisi kebijaksanaan yang lebih tinggi.
Kama Sutra : Bukan Teks Pornografis
Kecenderungan orang yang tidak sungguh-sungguh memahami teks Kama Sutra adalah mengklasifikasikan buku ini sebagai teks pornografi. Kesalah pahaman semacam ini sebenarnya sedari lama telah dikecam oleh akademisi Hindu baik di India maupun di Bali. Salah satu yang menyebabkan populernya stigma porno ini disebabkan oleh terjemaahan yang tidak memadai. Para peneliti studi Sansekerta menuding Sir Richard Francis Burton tidak menjabarkan teks Kama Sutra secara koheren. Kebudayaan populer pun lebih kerap mengeksploitasi bagian-bagian dari Kama Sutra yang menjelaskan mengenai tahap-tahap erotis dari hubungan seksual, dibandingkan dengan kebijaksanaan Catur Purusarthas. Ketidak utuhan membaca, maupun memahami, tentu saja tidak akan menyampaikan keseluruhan pesan dari konsep etis yang ingin dipaparkan Vatsyayana. Diluar dari Kama Sutra, budaya Hindu memang sarat akan pembahasan tentang seksualitas. Namun perlu diingat kembali, bahwa konteks pembicaraan tentang seks itu pun selalu dimaksudkan di dalam koridor hukum kebaikan atau Dharma.
Selain di dalam teks Kama Sutra, kebudayaan Hindu juga mengabadikan rasa hormat mereka terhadap persatuan feminitas dan maskulinitas ke dalam simbol-simbol sakral, dimana simbol-simbol tersebut dapat ditemukan di berbagai kuil di India. Salah satu simbol yang terpenting untuk umat Hindu adalah simbolLinggam dan Yoni. Kedua simbol ini merepresentasikan kesempurnaan Tuhan ketika terjadi peleburan antara aspek Feminim dan Maskulin, persatuan ini diyakini umat Hindu sebagai penyebab keseimbangan alam semesta. Contoh lainnya yang dapat disimak adalah kuil-kuil di Khajuraho yaitu suatu desa di India bagian Madhya Pradesh. Kuil-kuil di desa Khajuraho memang terkenal dengan pahatan-pahatan patungnya yang bermuatan eksotis. Tetapi seni pahat semacam ini pun ada untuk alasan tertentu, dalam filosofinya adalah alamiah dan lazim bagi seseorang untuk menjalani kehidupan penuh dengan Kama atau gairah cinta, tetapi ia akan menjadi objek yang terkekang, apabila tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, mengutip apa yang diutarakan oleh Vatsyayana, “Dapat dilihat bahwa mereka yang terlalu menyerahkan diri pada kehidupan seksual yang berlebih-lebih, maka sesungguhnya mereka memusnahkan diri mereka sendiri” (Kama Sutra II.34) Itulah makna arsitektur dari kuil di Khajuraho, insignia yang menunjukan seni eksotis hanya terletak di bagian luar dari kuil, dimana pahatan-pahatan ini jauh dari kuil dalam dan patung-patung dewata suci Hindu. Melalui struktur kuil inilah dimengerti bahwa manusia harus menghargai kehidupan seksual sebagai babak hidup yang amat alamiah, namun untuk mencapai spiritualitas yang lebih superior, ia harus belajar untuk mengendalikan dan pada akhirnya melepaskan diri dari kepuasaan yang sementara di dunia.
Sebagai penutup dapat dirangkumkan, bahwa Hinduisme sangat menghormati proses keintiman dari sepasang manusia. Melalui keintiman yang sesuai dengan pedoman Dharma maka sesunggunya ia menjalani sebagian dari Yadnya atau ibadahnya. Seperti yang dipaparkan di dalam kitab Veda Sruti Brhadaranyaka Upanisad, “Sesungguhnya ia yang menjalankan yadnya ini (relasi intim/adhopahasam), ia yang mengerti ini, agung pula lah dunianya.”Intinya, Vatsyayana hanya ingin mengemukakan bahwa seksualitas menjadi bermakna bagi seseorang ketika ia paham betapa agung dan spiritualnya aktivitas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar