Rabu, 14 Januari 2015

Menggugat Normalitas

Menggugat Normalitas
“I grew up understanding something of the violence of gender norms: an uncle incarcerated for his anatomically anomalous body, deprived of family and friends, living out his days in an “institute” in the Kansas prairies; gay cousins forced to leave their homes because of their sexuality, real and imagined; my own tempestuous coming out at the age of 16; and a subsequent adult landscape of lost jobs, lovers, and homes. All of this subjected me to strong and scarring condemnation but, luckily, did not prevent me from pursuing pleasure and insisting on a legitimating recognition for my sexual life.” Judith Butler
I. Pendahuluan
Normalitas adalah kata yang berbahaya, khususnya dalam memahami orientasi seksual. Tidak saja konsep kata itu kerdil, tetapi dampak dari diterapkannya kata itu pada kehidupan sehari-hari merangsang terjadi prasangka dan kekerasan. Dengan mudahnya pikiran manusia jatuh pada dikotomi seksualitas; orientasi normal dan orientasi abnormal. Bahwa relasi heteroseksual adalah relasi yang pantas, tepat, benar dan normal, sementara itu relasi gay atau homoseksual adalah relasi yang janggal, salah, menyimpang dan abnormal. Diskriminasi terjadi dikarenakan pola pikir dangkal ini, bahwa dikarenakan mereka yang berorientasi seksual berbeda dianggap menyimpang maka harus ‘disembuhkan’, atau harus disadarkan.
Upaya pertama yang harus dilakukan adalah mematahkan kekuasaan kata normalitas ini. Di dalam karyanya The Order of Things, Michel Foucault menjelaskan dengan kritis, bagaimana manusia mengandalkan hidupnya dengan adanya keteraturan serta kategorisasi. Kategorisasi tersebut menjadi pembenaran, lalu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang bisa diterima. Melalui aturan, ideologi, kebijakan, hingga nilai-nilai dalam masyarakat dan keluarga, menjadi alat pelanggengan kategorisasi itu. Mengeliminir diskriminasi terhadap kaum gay harus dimulai dengan mendekonstruksikan pemahaman kategorisasi ini.
II. Scientia Sexualis Vs. Ars Erotica
Michel Foucault berargumen bahwa ada kecenderungan sepanjang sejarah manusia seksualitas selalu dijadikan objek represi. Misalnya, pada abad ke-17 untuk menguasai sirkulasi pengucapan hingga perilaku seksual, masyarakat dan negara menerapkan sensor serta sanksi. Seksualitas dikekang, dikendalikan, bahasa yang menyebutkan seks, atau mengandung insinuasi seksual dianggap tabu. Namun Foucault mengkritik kesunyian yang terjadi pada abad ke-17, karena kesunyian itu tidak serta merta berarti kesantunan, meski dilarang di permukaan, dibalik segala pelarangan itu budaya kemunafikan terjadi. Pelarangan-pelarangan yang diberlakukan gereja serta negara dianggap sebagai syarat suatu peradaban yang maju, yang patuh pada norma kesopanan. Meskipun begitu, Foucault menganggap masyarakat pada zaman itu sangatlah munafik, khususnya kaum aristokorat, yang secara sembunyi-sembunyi menikmati kehidupan seks yang bebas.
Dari analisa awal Foucault, ia telah memahami bagaimana represi terhadap bahasa menjadi metode yang efektif untuk mengkontrol sosial; “As in order to gain mastery over it in reality, it had first been necessary to subjugate it at the level of language, control its free circulation in speech, expunge it from things that were said, and extinguished the words that rendered it too visibly present.” Bahasa menjadi target, bagaimana menekan bahasa seksualitas melalui penggunaan bahasa yang otoritatif, bahasa yang otoritatif itu menentukan apa yang dianggap layak, atau kategori apa yang dianggap benar, serta bagaimana menimpakan hukuman pada mereka yang menyimpang.
Beranjak dari abad ke-17, Foucault menganalisa perkembangan pemahaman seksualitas pada abad ke-19. Meski topik tentang seks mulai diangkat, dibahas dan diteliti secara komprehensif, Foucault menilai transisi budaya mempersepsikan seksualitas menjadi diskursus ini tidak sepenuhnya bebas dari represi. Diskursus menurut Foucault merupakan upaya untuk melegetimasi kekuasaan. Meski para psikoanalisis membahas perihal seksualitas, mereka membahas dengan pengertian bahwa seks hanya sebatas pada fenomena yang menjadi objek observasi semata. Proses observasi hingga penyimpulan suatu teori tentang seksualitas, meskipun sekilas nampak bebas dari represi, sesungguhnya menurut Foucault menyimpan maksud represif. Bahwa tubuh hanya direduksi sebagai objek penelitian, dan seksualitas yang orientasinya homoseksual dianggap sebagai penyakit yang butuh rehabilitasi.
Inilah yang disebut oleh Foucault sebagai Scientia Sexualis, yaitu suatu sikap yang menganggap bahwa konteks pembicaraan tentang seks hanya berkaitan dengan bagaimana konsep seks itu menjadi pokok penelitian serta diskursus. Ini menyebabkan kegiatan seksual dipandang rigid menjadi sesuatu hal yang sangat mekanistik serta selalu mencurigakan, karena harus selalu dikaji, individual telah lupa apa maknya sesungguhnya melakukan relasi seksual. Sedangkan dalam Ars Erotica, Foucault menekankan kenikmatan sebagai tujuan relasi seksual sesungguhnya. Selama ini individual telah dirampas kebebasannya untuk menikmati seks, seks selalu dikuasai oleh kontrol masyarakat, diawasi oleh negara, serta dinilai mana yang dianggap benar atau tidak. Kenyataannya manusia melakukan aktivitas seksual, tidak hanya demi tujuan propagasi, atau reproduktif, tetapi dalam relasi seksual ia mencari apa yang estetis, apa yang dianggapnya indah, menyenangkan serta menyebabkan kenikmatan. Motif kenikmatan inilah yang menurut Foucault telah tergerus dengan kebudayaan diskursus yang terutup, yang tidak memberikan ruang bagi kemungkinan-kemungkinan relasi seksual dengan motif pengalaman akan kenikmatan.
III. Tubuh Sosial
Melalui pisau analisa Foucauldian, kita telah mengetahui bahwa selalu terjadi represi dalam memahami seksualitas. Represi yang dilakukan baik dalam sistem nilai masyarakat, maupun yang dalam bentuk peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara. Atas dasar pandangan inilah maka sesungguhnya tubuh menjadi objek pengawasan, tubuh selalu dicurigai dan selalu dikekang, “Between the state and the individual, sex became an issue, and a public issue no less, a whole web of discourses, special knowledges, analyses, and injunctions settled upon it.” Tubuh tidak lagi milik individual, tetapi ia milik sosial, yang tidak lagi bebas mengekspresikan preferensi seksualnya. Negara memiliki wewenang untuk membentuk wacana apa yang dianggap tepat tentang seks untuk warga negaranya. Komunitas diperbolehkan mengintervensi norma-norma sosial yang dianggap layak.
Diskriminasi terhadap kaum GLBTI terjadi dikarenakan tubuh tidak lagi dianggap otonom, tetapi tubuh yang menjadi milik sosial dan negara. Tubuh yang seharusnya menjadi aktualisasi kebebasan seseorang, kini dikontrol hukum agama, tubuh tersebut diperbolehkan beraktivitas hanya sebatas bila aktivitas itu tidak menganggu kaidah agama dan sosial yang telah ditentukan. Negara berperan penting dalam menegakkan keseragaman pandangan ini, khususnya bila negara acuh melihat kekerasan serta pelecehan yang terjadi terhadap kaum GLBTI. Homophobia semacam ini, yang bersumber dari pemahaman moral yang palsu, sesungguhnya hanya eksekusi kekuasaan negara. Kekuasaan dan seksualitas, Foucault menggarisbawahi, selalu berkaitan, khususnya bagaimana kekuasaan ditegakkan dengan mewacanakan seksualitas, “Power is essentially what dictates its law to sex. Which means first of all that sex is placed power in a binary system: licit and illicit, permitted and forbidden, secondly, power prescribes an order for sex that operates at the same time as a form of intelligibility: sex is to be deciphered on the basis of its relation to the law. And finally power acts by laying down the rule: power’s hold on sex is maintained through language, or rather through the act of discourse that creates, from the very fact that it is articulated, a rule of law.” Kekuasaan yang diberlakukan negara, dalam membingkai pandangan serta opini sosial, sangat berkaitan dengan mengapa homophobia terjadi, khususnya dalam negara seperti Indonesia yang kepemerintahannya masih bimbang antara menegakan hukum universalitas HAM, atau hukum agama, serta ragu-ragu dalam mengutamakan hak sipil, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan preferensi seksual.
Dalam Discipline and Punish, Foucault membuat suatu terminologi yaitu ‘Docile Bodies’ atau tubuh-tubuh yang patuh (submisif). Meski kaitan terminologi yang ia gunakan untuk menguraikan secara sosiologis serta filosofis tentang sistem penjara, namun konsep Tubuh yang Patuh ini dapat juga kita relevansikan dengan bagaimana sosial mengendalikan seksualitas individual. Negara melalui wacana berusaha mendikte seksualitas seseorang, misalnya, diskriminasi serta propaganda yang dibuat bahwa tubuh-tubuh tersebut harus hidup secara ‘bersih’ sebagai cerminan moral, agama serta pikiran yang ‘bersih’, hanya pola seks yang heteroseksual yang dianggap pantas. Dominasi dan represi semacam ini dapat terjadi dan semakin mengkhawatirkan bila negara masih turut campur dalam urusan tubuh-tubuh individual. Inilah yang digugat oleh Foucault bahwa asumsi sosial, prasangka sosial dapat memburuk bila negara mendukung diskriminasi tersebut.
IV. Identitas dan Performativitas
Bila pengekangan terhadap GLBTI terjadi secara fundamental yaitu melalui diskursus, seperti yang diutarakan Foucault berkenaan dengan kebebasan seksualitas, maka perlawanan terhadap ketidakadilan inipun harus melalui diskursus juga. Itulah yang dilakukan oleh Judith Butler, Michael Warner serta Eve Sedgwick dengan mengembangkan Queer Theory. Hal pertama yang perlu didekonstrusikan adalah pandangan esensialis. Mengapa esensialisme? Karena diskriminasi terjadi atas anggapan bahwa manusia membawa identitas gender yang metafisik, bahwa ada totalitas di dalam gender seseorang. Begitu juga secara biologis, yang mereduksi gender secara rigid, bahwa kita terlahir antara menjadi lelaki atau perempuan. Butler menolak totalitas di dalam identitas ini, dengan mengatakan bahwa subjek adalah akumulasi momentum, bukan esensi biologis semata.
Seksualitas dan identitas tidak lepas dari konstruksi sosial, ini telah dibahas dalam bab sebelumnya, bagaimana Foucault menganalisa sejarah seksualitas, yang menunjukan pengertian bahasa tentang seks dapat berubah-ubah secara drastis bergantung pada evolusi pemahaman sosial, serta kekuasaan yang dominan. Perubahan sikap yang lebih sensitive terhadap kaum GLBTI dapat terjadi bila pandangan yang esensialistik serta tertutup tentang identitas gender ini dapat diruntuhkan. Bahwa seseorang tidak perlu dianggap janggal karena ia seorang homoseksual, karena orientasi seksual tidak terberi begitu saja, tetapi suatu proses yang berhubungan dengan pilihan bebas seseorang.
Berbicara tentang identitas kita harus menghindari pemahaman identitas yang hegemonik. Bahwa dalam melihat seseorang kita hanya melihat satu identitas sebagai perwakilan dirinya. Seorang aktivis GLBTI Christina K. Hutchin menjelaskan dalam pengalamannya, “I was also disturbed at the idea of fixing my own identity in a primary way to the category of lesbian. I was defining myself as a fixed identity and perhaps a rather reductively sexualized identity rather than as a subject in ongoing multiple processes of becoming.” Pengakuan Hutchin menjelaskan betapa mudahnya kita jatuh pada posisi biner yang palsu, bahwa berlawanan dengan heteroseksualitas, adalah homoseksualitas, sementara itu Hutchin beranggapan bahwa identitas adalah suatu proses yang cair, atau proses menjadi, karena ia mengakui, tidak selamanya ia seorang lesbian, sebelumnya ia adalah seorang heteroseksual. Apa yang harus dihindari adalah mereduksi identitas seseorang hanya sebatas pada orientasi seksualnya.
Malangnya, kekerasan serta penindasan terhadap kaum GLBTI terjadi dikarenakan identitas hegemonik ini. Mereka yang homophobia hanya mau melihat satu dimensi saja, yaitu dimensi seksualitasnya saja. Diskriminasi terjadi karena pengasingan serta pengucilan yang terjadi atas alasan pandangan biner ini, bahwa diluar heteroseksual, adalah orientasi seks yang menyimpang. Mereka gagal melihat kaum GLBTI sebagai sesama manusia, dengan berbagai kesamaan identitas lainnya. Hutchin mengatakan bahwa harus ada destabilisasi identitas, suatu pola pikir terbuka, bahwa identitas kita selalu berubah, bahwa identitas kita adalah proses kreatif yang terus berjalan dan muncul dalam relasi dengan subjek-subjek lainnya.
Hutchins mengutip Whitehead dalam teori repetisi, bahwa identitas yang menjadi berkaitan dengan pengulangan kebiasaan, pengulangan ini berdasarkan apa yang ia anggap sebagai intensifikasi rasa kesukaan, kecenderungan serta kesadaran seseorang. Proses ini menurut Hutchins terus bergulir, repetisi yang diberlakukan tergantung dengan perasaan serta pilihan subjek untuk dikembangkan.
Begitu juga dengan Judith Butler seorang feminis poststrukturalis yang menekankan bahwa gender adalah performitivitas. Seseorang dikatakan perempuan atau lelaki bukan dikarenakan kondisi biologisnya saja, tetapi gender adalah pengucapan, sikap, diskursus yang dilakukan secara repetitif. Hutchins juga menjelaskan bagaimana repetisi ini menunjukan proses menjadi subjek, “for Butler subjectivity is performative. Identity and identity categories are neither essential nor fixed, nor the outcome of some inner substance of who we are, waiting for fulfillment. Rather identity is formed in moment by moment activity, an activity that requires and creates/constructs a body and is sedimented through time.”
V. Penutup
Melalui pemaparan diatas, kita seharusnya mengkritisir kembali apa yang dianggap normal tersebut? Apakah konsep yang normal benar-benar bermakna secara ontologis, ataukah konsep normal tersebut hanyalah prasangka serta keacuhan kita yang dikonstruksikan secara sosial. Dekonstruksi terhadap mitos usang bahwa heteroseksualitas adalah orientasi seksual yang benar dapat dilakukan bila pemahaman tentang gender serta orientasi seksual bukanlah sesuatu yang baku serta ‘given’, tetapi sesuatu yang dinamis, bahwa seseorang dapat memilih dan menunjukan performitas terhadap identitas yang ia anggap representatif bagi dirinya. Sensitifitas terhadap variasi atau pilihan preferensi seksual dapat terjadi bila setiap orang menggunakan penalaran dibandingkan secara pasif mengikuti suatu norma atau kaidah moral/agama yang tidak kita periksa secara radikal. Sikap keterbukaan semacam inilah yang memungkinkan homophobia-ism dapat diberantas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar