Rabu, 14 Januari 2015

Doraemon & Heidegger

Doraemon dan Heidegger
Ketika dunia diperkenalkan pada Doraemon, tahun 1969 silam, tidak hanya anak-anak yang tergila-gila dengan tokoh bulat dan berwarna biru tersebut. Orang dewasa pun merasakan koneksi dengan kecerdasan plot cerita itu. Ditulis oleh dua kartunis legendaris Hiroshi Fujimoto dan Moto Abiko dengan nama pena Fujiko F. Fujio. Sekilas cerita tentang Doraemon terlihat sederhana, kisah sekumpulan anak-anak dengan sebuah robot biru berbentuk kucing. Tetapi bila kita menilik lebih jeli, kisah Doraemon menyimpan makna yang lebih mendalam, kisah-kisahnya mencerminkan bagaimana fantasi manusia terhadap teknologi, relasi manusia dengan alam, persahabatan, rasa berpetualang, dan pentingnya memiliki harapan di dalam hidup.
Nilai-nilai itulah yang membuat serial Doraemon lebih dari sekedar komik & animasi jepang biasa, sang duo penulis Fujiko F. Fujio seperti hendak menyampaikan pesan yang lebih filosofis yaitu perihal faktisitas manusia berada di dunia ini. Analoginya nampak tidak rumit, tokoh utama, Nobita Nobi berteman dengan Doraemon seorang robot kucing dari abad ke-22, berdua mereka berpetualang menggunakan alat-alat canggih yang keluar dari kantung 4 dimensi milik Doraemon. Singkat cerita, secanggih apapun alat-alat yang dimiliki oleh Doraemon, Nobita kerap menyalahgunakan alat tersebut, entah karena disengaja, misalnya untuk alasan dendam (khususnya kepada dua tokoh lainnya yaitu Suneo dan Giant) atau memang karena Nobita polos dan cenderung tidak peka akan tanggung jawab dari alat-alat tersebut.
Menarik bila dipikirkan, bagaimana manusia terinfatuasi dengan teknologi. Khususnya kini, di zaman ketika fiksi ilmiah dengan ilmu ilmiah mulai sulit untuk dipisahkan. Professor Ron L. Mallet dari University of Connecticut misalnya, ia salah satu visionaris yang meyakini bahwa perjalanan lintas waktu dapat ditempuh melalui teknologi laser. Tentunya penemuan semacam ini semakin menguatkan bahwa fantasi laci mesin waktu milik Doraemon mungkin saja dapat terwujud. Begitu juga dengan kisah perjalanan Nobita dan Doraemon menjelajahi galaksi lain dan bertemu dengan makhluk non-teresterial, kisah semacam ini tentu saja tidak menjadi terlalu konyol sekarang, dengan teknologi penjelajahan ruang angkasa kemungkinan besar di masa depan kita dapat melintas antar galaksi. Teknologi fusi, kloning, supercomputer hanya sebagian saja pencapaian manusia di bidang teknologi. Lompatan luar biasa ke era teknologisasi ini tentunya tidak jauh dari impian yang digarap oleh duo Fujiko F. Fujio, siapa tahu sesaat lagi kita semua bisa terbang dengan baling-baling bambu?
Lantas apa permasalahannya? Bila teknologi memang bagian vital, dan tidak dapat dihindarkan dari hidup manusia. Dimana problematikanya? Martin Heidegger di dalam esainya ‘The Question Concerning Technology’ diuraikan secara detil problem relasi manusia dengan kemampuannya berteknologi. Heidegger di awal penyelidikannya membedakan antara Teknologi dan Esensi dari Teknologi. Teknologi menurutnya bukan sekedar suatu instrument, bukan sekedar suatu benda yang berfungsi bagi si manusia. Melampaui itu, bagi Heidegger, ber-teknologi adalah suatu kegiatan yang istimewa bagi manusia. Bila hakekatnya kegiatan berteknologi seharusnya penting bagi subjek manusia tersebut, apa yang kontroversial dari teknologi?
Heidegger yang senang meminjam terma-terma Yunani, menggunakan kata Poiesis milik Plato untuk menggambarkan keistimewaan ber-teknologi, yakni kegiatan subjek untuk melakukan ‘bringing-forth’ atau bila disederhanakan, kegiatan seorang manusia untuk menampilkan ‘benda’ tersebut. Rupanya menurut Heidegger tidak ada bedanya seni dan teknologi itu, kedua kegiatan tersebut sama-sama menekankan bagaimana peran subjek untuk menampilkan sesuatu, dan karakter dari benda/karya yang ditampilkan tidak melulu urusan fungsional semata, tetapi juga bagaimana subjek memaknai dan memberikan nilai. Dalam pengertian ini, nilai yang dimaksud oleh Heidegger yang lebih dalam dari sekedar causa final (ala Aristotelian) adalah Aletheia atau Kebenaran.
Heidegger akan berargumen bahwa melalui teknologi manusia dapat menyibak kebenaran. Apa maknanya menjadi manusia, apa arti superioritas imajinasi dari manusia, bagaimana melalui kreasi ‘techne’ kita dapat melihat suatu totalitas dari realitas perlengkapan (equipmentality) yang ada. Intinya melalui pengalaman berteknologi, manusia dapat menyadari eksistensinya.
Problemnya adalah, proses Poiesis yang seharusnya menyibak kebenaran di dalam relasi manusia dengan ciptaannya, tidak mencapai titik Alethia itu. Manusia berhenti pada tahap ‘enframing’ saja ungkap Heidegger, yaitu tahap dimana manusia hanya selintas lalu melihat teknologi sebagai alat yang berfungsi untuk kenyamanan dan kepuasan kita semata. Manusia hanya melihat versi yang diinginkannya menjadi kebenaran, bukan sepantasnya menjadi kebenaran. Distorsi inilah yang menyebabkan manusia merasa sebagai penguasa dari teknologi, bukan sebagai pemakai teknologi untuk suatu maksud yang lebih universal, misalnya totalitasnya di dalam relasi dengan alam.
Alih-alih menjadi penguasa teknologi, sebaliknya menurut Heidegger obsesi berlebih manusia terhadap teknologi justru menjadikannya manusia yang tidak bebas, menjadikannya budak bagi teknologi. Ia gagal melihat totalitas dari kehadiran teknologi tersebut, ia malah terjerumus dalam realitas praxis, bukan yang epistemik.
Melalui penjelasan Heidegger ini sejatinya kita dapat mengevaluasi, mengapa pengertian teknologi sebagai ciptaan manusia, sering berbenturan dengan alam? Padahal, menurut Heidegger, seharusnya teknologi yang diciptakan oleh manusia menjadi alat penyibak relasi dengan alam. Teknologi justru menjadi konsekuensi dari keberadaan manusia ditengah-tengah alam. Tentunya apa yang terjadi kini pemahaman teknologi sering dimengerti sebagai alat yang justru merusak alam, pengrusakan ini terjadi karena manusia hanya ingin membentuk ‘versi’ kebenaran yang sebatas membawa kenyamanan saja untuknya, bukan untuk alasan yang lebih bijaksana lagi.
Kita kembali lagi pada cerita Doraemon. Di seri manga Doraemon yang kedua, diceritakan bahwa terjadi kericuhan di kediaman Nobi. Nobita dilanda frustasi mengetahui bahwa besok gurunya akan mengadakan ujian matematika dan bahasa dihari yang sama. Nobita yang manja dan pemalas itu tentunya memilih untuk merengek-rengek meminta bantuan kepada Doraemon, dibandingkan mempelajari dua mata pelajaran tersebut. Doraemon yang mudah kasihan, akhirnya memutuskan untuk menolong Nobita. Ia memberikan alat dari masa depan yakni roti tawar penyerap pelajaran. Doraemon menjelaskan pada Nobita bahwa dengan cara menempelkan roti tawar ke buku catatan lalu memakan jiplakan yang ada di roti tawar itu, maka materi pelajaran akan menempel di dalam kepala Nobita. Nobita tidak perlu repot-repot menghapal, apalagi belajar karena dengan memakan roti tawar itu maka secara otomatis Nobita akan mengingat tanpa cela segala isi catatannya.
Dari cerita ini hal lain yang bisa dikaitkan dengan teknologi adalah bagaimana penggunakan dari suatu alat lebih sering dikedepankan hasil akhirnya saja, atau seberapa efisien dan instannya teknologi itu bekerja. Menurut Heidegger, merangkai dan menggunakan teknologi seharusnya menjadikan si manusia itu bijaksana, dan menyadari kebenaran tentang dirinya dan keterlibatannya di dunia. Sehingga ketika kita bicara tentang teknologi seharusnya tidak berhenti pada hal yang remeh seperti inovasi Ipod atau Blackberry, tetapi lebih besar lagi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya, Mesin daur ulang, dan alat-alat lainnya yang dimaksudkan untuk kebaikan kita dan alam.
Lucu bila dipikirkan, bahwa persahabatan Nobita dengan Doraemon, sesungguhnya persahabatan seorang manusia dengan mesin. Anehnya lagi, Nobita justru banyak belajar tentang menjadi manusia yang lebih baik melalui Doraemon yang terbuat dari mesin. Meskipun Doraemon sering terperdaya oleh rengekan Nobita, tetap saja, analogi Doraemon dan Nobita mengingatkan bagaimana kearifan manusia diuji terus menerus ketika berhubungan dengan penggunaan teknologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar