Rabu, 14 Januari 2015

Mengejar ( Gagasan ) Keadilan

Mengejar (Gagasan) Keadilan
  1. I. Pengantar
Keadilan kerap diutarakan, diucapkan lantang dalam revolusi, tertulis dengan megah dalam teks-teks filsafat, dan dijanjikan dalam undang-undang Negara. Kita merasa mengetahui apa itu keadilan, kita hidup dengan rasa tentram bahwa keadilan adalah kecenderungan dari progress dan peradaban manusia. Tetapi sungguhkan kita mengetahui apa keadilan itu? Apa yang dimaksud dengan kondisi yang adil? Atau masyarakat yang adil? Amartya Sen di dalam karyanya The Idea of Justice ingin menyoal tentang keadilan. Ia bukan yang pertama memiliki misi untuk mengurai makna dari keadilan. Para pendahulunya termasuk John Rawls, John Stuart Mill, bahkan hingga Immanuel Kant, telah terlebih dahulu mencoba memberikan argumen yang memadai tentang ‘nature’ dari keadilan tersebut.
Sorotan utama dari investigasi Sen adalah konsep keadilan yang dibicarakan oleh John Rawls dalam karyanya A Theory of Justice. Meski sepaham dengan Rawls mengenai penekanan pada akal budi sebagai penelusur proses serta kondisi yang adil, Sen berbeda pendapat tentang metode evaluasi dari keadilan. Rawls yang sangat taat dengan metode Kantian yang transendental, meyakini melalui hipotesa original positionnya, individu selalu bertujuan pada keadilan. Bagi Sen metode ini tidak akurat merepresentasikan pemahaman tentang keadilan, khususnya betapa bervariasinya kondisi riil dari masyarakat. Pendekatan Sen lebih memberi ruang terhadap alternatif-alternatif paham keadilan, dibandingkan mencoba membuat satu garis prinsip keadilan yang universal.
Namun meski dikritik secara tajam oleh Sen, Rawls bagi Sen beperan penting bagi perkembangan teori keadilan, khususnya dengan pengertian ‘justice as fairness’. Keadilan menekankan prasyarat-prasyarat, peran Rawls adalah elaborasi terhadap prasyarat tersebut, seperti keharusan dari masyarakat yang rasional, imparsialitas serta memiliki dan mempraktikan kebebasannya[1]. Hal lainnya yang disanjung oleh Sen adalah kontribusi Rawls terhadap penekanan pada kekuatan moral yang dimiliki oleh manusia. Bahwa secara umum manusia memiliki kesadaran akan apa yang dianggap baik serta adil.
Karya The Idea of Justice dari Amartya Sen, bisa dikatakan istimewa, karena penggunaan teori-teori penting, dari Marquis de Condorcet, John Stuart Mill, Adam Smith, Isaiah Berlin, John Locke, Immanuel Kant, Mary Wollstonecraft, hingga John Rawls, dan Kenneth Arrow. Dengan kejeliannya melihat relevansi maupun kelemahan dari suatu teori, Sen memberikan analisa yang begitu tajam.
  1. II. Demistifikasi Keadilan
Kita selalu beranggapan bahwa sifat yang adil bukanlah sesuatu yang kebetulan ada dalam manusia. Keadilan itu niscaya, dan merupakan kemuliaan dari identitas seorang manusia. Setidaknya, itulah yang diyakini oleh para filosof abad pencerahan, layaknya Immanuel Kant. Sen, menyampaikan, sebelum kita jatuh pada idealisme tentang gagasan keadilan, kita harus pikirkan secara rasional kemungkinan-kemungkinan bagaimana kita memahami apa keadilan tersebut. Sen melihat ada dua kecenderungan pengejaran paham tentang keadilan ala tokoh pencerahan seperti Locke, Hobbes, Rousseau dan Kant. Pertama, penekanan pada identifikasi pada bentuk gagasan keadilan yang sempurna, yang kedua adalah penekanan pada penciptaan institusi yang transendental, yang melalaikan gejala-gejala riil dalam masyarakat. Bagi Sen, urgensi dari penyelidikan tentang keadilan, tidak hanya mengabstraksikan seperti apakah institusi keadilan yang sempurna, tetapi lebih pada, bagaimanakah kita berada pada kondisi yang adil, serta meningkatkan keadilan melalui realisasi aktual, dan komparasi yang terjadi pada individu ditengah mereka hidup bermasyarakat.
Keberatan Sen terhadap Rawls serupa dengan keberatannya terhadap para kontraktarian abad pencerahan. Walaupun menyepakati akal sebagai alat utama analisa terhadap kondisi keadilan dalam konsep justice as fairness, Sen mengkritik beberapa teori penting dari Rawls. Salah satunya adalah konsep kontrak serta posisi awal (original position) Ada beberapa masukan penting yang dibuat oleh Sen, khususnya memeriksa seberapa jauh gagasan posisi awal bisa diterapkan dalam aktualitas. Selain problem aplikasi dari posisi awal, yang terpenting dari kritik Sen adalah mengenai imparsialitas dari posisi awal yang menurut Sen merupakan bentuk imparsialitas tertutup;
“With closed impartiality the procedure of making impartial judgement invokes only the members of a given society or nation (or what John Rawls calls a given ‘people’) for whom the judgements are being made.”[2]
Rawls menganggap bahwa konsep posisi awal, hanya bekerja dalam kondisi eksklusif masyarakat yang membuat kontrak. Ia tidak melibatkan kelompok maupun individu lainnya yang berdiri diluar kontrak tersebut. Problem yang muncul dengan posisi awal Rawls menurut Sen adalah bagaimana terputusnya relasi riil individu lokal, dengan mereka yang diluar kontrak. Tentunya bila ini terjadi, perbandingan, atau pembaharuan tentang relasi yang adil tidak akan menjadi maksimal. Mengutip Adam Smith, Sen lebih cenderung mendorong bentuk imparsialitas terbuka, atau teori Smith tentang ‘Impartial Spectator;
“The Smithian ‘impartial spectator’ is, of course, a device for critical scrutiny and public discussion. It need not, therefore, seek unanimity or total agreement in the way that the institutional straitjacket of Rawlsian theory of justice demands.”[3]
Imparsialitas penting dalam teori keadilan, Rawls mengharuskan ‘cadar ketidaktahuan’ yang merupakan analogi dari konsep ‘disinterestedness’ dari pandangan moral Kant. Bahwa bersikap adil serta baik sepatutnya dilakukan kepada siapapun, tanpa membedakan kelas, ras, maupun afiliasi kelompok tertentu. Tetapi bagi Sen untuk menerapkan imparsialitas hanya bagi peserta dari kontrak (membership entitlement) tersebut, sama saja mengacuhkan keterlibatan individu lokal dengan mereka yang diluar kontrak. Sen menegaskan, bagaimana kita tidak bisa lagi mengabaikan kritik maupun komentar dari mereka yang menyimak diluar kontrak, yang bagi Sen merupakan komentator yang lebih jeli dan objektif. Sen menganggap bahwa penegakan keadilan atau kegagalan kondisi yang adil disuatu daerah akan mempengaruhi kondisi keadilan di daerah-daerah yang lainnya. Atas alasan inilah pembicaraan tentang imparsialitas haruslah dalam pengertian yang terbuka. Keterbukaan ini memungkinkan diskusi publik yang penuh dengan gagasan yang bermacam-macam tentang keadaan yang dianggap adil.
Sanggahan Sen lainnya terhadap pendekatan transendentalis Rawls adalah tentang ‘The Different Principle’. Khususnya mengenai pemenuhan primary social goods. Sen mengkritik penyederhanaan pemenuhan kebutuhan primer sebagai kondisi yang adil. Sen menganggap prinsip ini tidak lagi cukup, dan tidak cukup membumi untuk menyentuh problem riil dari fenomena ketidakadilan seperti kemiskinan atau disparitas ekonomi. Bagi Sen penting untuk mendeteksi ketidakadilan melalui pendekatan yang lebih spesifik, tidak sekedar pemenuhan ‘social goods’ ataupun cukup ditandai dengan keberadaan institusi-institusi. Kondisi adil bagi Sen adalah dimungkinkannya kemampuan masyarakat untuk melakukan pilihan sosial. Pilihan-pilihan inilah menjadi penanda utama bahwa situasi keadilan sungguh-sungguh ada.
Sen mewaspadai pandangan fundamental institution, bahwa institusi tidak bisa dijadikan andalan utama barometer bahwa keadilan telah terjadi. Rawls, karena ia bersikeras dalam posisi awal ada kesepakatan prinsip justice as fairness, ia cukup menunjukan keberadaan institusi sebagai tanda keadaan yang adil, institusi tersebut sempurna, ia tidak akan gagal apalagi salah.  Sen menolak penekanan pada institusi, sekalipun ada kesepakatan awal dalam original position. Sen melihat aspek-aspek dari pengadaan kondisi yang adil lebih luas dari itu, serta melibatkan perspektif yang lebih radikal untuk memahami keadilan;
“We have to seek institutions that promote justice, rather than treating the institutions as themselves manifestations of justice, which would reflect a kind of institutionally fundamentalist view”[4]
Telah disinggung secara singkat tentang signifikansi dari adanya ‘social choice’, argumen Sen tentang pilihan sosial merupakan bantahan utama terhadap transendental justice dari Rawls. Gagasan keadilan transendental yang memaksimalkan energinya untuk mencarai bentuk keadilan yang sempurna, bagi Sen melalaikan pentingnya suara-suara individual. Sen memberikan analogi yang baik bagaimana problematisnya upaya untuk mencapai keadilan yang sempurna, ia contohkan estetika. Sulit membayangkan seni yang bisa dikriteriakan sebagai paling baik dan indah, begitu juga dalam mengimajinasikan masyarakat yang sesungguhnya adil secara transendental. Keadilan bisa secara nyata diketahui serta dikoreksi melalui kemampuan komparatif. Tetapi bagi Sen metode komparatif ini tidak serta merta memiliki telos untuk mengejar keadilan yang sempurna, justru, metode komparatif cukup bekerja sebagai alat evaluasi dari assessment tentang keadilan.
Dalam pandangan yang cenderung Totalis, seperti transendental justice dari Rawls, ‘incompleteness’ atau ketidaktuntasan dianggap sebagai kegagalan suatu teori keadilan. Sen mengambil sikap yang berbeda. Ia berargumen justru ketidaktuntasan adalah urgensi bagi akal untuk selalu melakukan re-assessment, melakukan koreksi, dimana letak penyebab terjadinya ketidakadilan, atau bagaimana strategi yang lebih baik untuk memaksimalkan keadilan;
“The acceptability of evaluative incompleteness is indeed a central subject in social choice theory in general, and it is relevant to theories of justice as well.”[5]
Social choice menjadi keharusan dalam teori keadilan Sen. Ia mengutip Condorcet dan Arrow dalam merumuskan substansi dari diterapkannya social choice. Meski teori sosial choice dari kedua tokoh ini terbentur dengan problem, Condorcet Paradox dan Impossibility Theorem dari Arrow, Sen lagi-lagi menekankan pentingnya untuk jangan berkesimpulan totalis tentang suatu teori. Kita harus bayangkan teori-teori tersebut dimaksudkan sebagai instrumen assessment. Sehingga selain mencapai kondisi yang adil sebagai suatu hasil, Sen menitikberatkan juga proses. Prosuderal atau tahap untuk mencapai masyarakat yang adil bagi Sen tidak bisa meluputkan adanya social choice.
Beberapa argumen diberikan oleh Sen tentang mengapa social choice lebih relevan sebagai komponen dari teori keadilan. Social choice[6] fokus dengan ide komparatif, penalaran praktis yang dilakukan oleh individu dalam menelaah apa itu keadilan. Selain itu Sen menekankan juga dalam social choice kita menghindari keyakinan ada satu keadilan yang benar dan tunggal, kita harus merekognisi adanya keberagaman prinsip-prinsip yang selalu dikonteskan atau diperbandingkan. Perbandingan dan diversitas ide-ide ini sangat fundamental, karena membolehkan kita memeriksa ulang suatu prinsip.
  1. III. Kapabilitas
Kemiskinan dapat dikatakan menjadi motivasi utama Sen untuk memformulasikan pendekatan yang lebih komprehensif tentang teori keadilan. Sen yang menghabiskan masa kecilnya di Bengal Barat, di desa Santiniketan[7], ia tidak asing dengan kondisi kemiskinan yang ekstrem. Ia beranggapan bahwa selama ini masalah kemiskinan susah untuk dieliminir karena ada kesalahan perspektif dalam mencermati asal-muasal dari kondisi kemiskinan tersebut. Ia mengkritik penyederhanaan yang dilakukan oleh Rawls tentang social primary goods serta pemahaman yang rigid tentang institusi, begitu juga pendekatan para utilitarian yang homogen mengeneralisir bahwa maksimalisasi kesenangan sebagai keadaan yang adil.
Tolak ukur dari keadaan yang adil atau tidak, bagi Sen lebih akurat menggunakan pendekatan kapabilitas. Pendekatan ini berkaitan dengan bagaimana individu memiliki kapabilitas untuk melakukan sesuatu, atau memilih melakukan hal-hal yang ia anggap penting untuk well-beingnya;
“The capability approach focuses on human life, and not just on some detached objects of convenience, such as incomes or commodities that a person may possess, which are often taken, especially in economic analysis, to be the main criteria of human success”[8]
Lebih dalam lagi, Sen mengkaji ulang pengertian kita tentang opportunity, bagaimana hubungan kebebasan kita dengan adanya kesempatan tersebut. Kebebasan menurut Sen bisa dipahami melalui dua cara, yang pertama pemahaman kebebasan dengan adanya kesempatan tersebut. Kesempatan semacam ini dianggap oleh Sen adalah pemahaman kesempatan yang sempit, karena cukup mengartikan adanya kebebasan bila, dimungkinkan adanya kebebasan tersebut. Cara yang kedua berkaitan dengan penekananan adanya proses. Aspek proses dari kebebasan menurut Sen melebarkan pandangan tentang kesempatan. Karena aksentuasi utama dari kebebasan sebagai proses, adalah adanya aktualisasi dari pilihan. Proses menjadi syarat yang tidak bisa dilalaikan dalam teori keadilan Sen, khususnya proses yang mengharuskan adanya kebebasan individu untuk memilih fungsi kapabilitas yang ingin ia aktualisasikan.
Sen membedakan dua cara mencapai situasi yang adil, yang pertama adalah pendekatan kulminasi, yang mengukur kesuksesan hanya sebatas kondisi yang dicita-citakan telah tercapai. Sementara itu Sen lebih memberatkan pemeriksaan melalui pendekatan komprehensif, yakni apakah pencapaian tersebut sungguh-sungguh murni atas dasar kebebasan individu, ataukah pencapaian tersebut dipaksakan, atau pencapaian tersebut memang berdasarkan kemampuan memilih individu tersebut.
Sen bersikukuh, bahwa dalam membuat modul untuk memahami kondisi yang adil atau tidak, kita harus selalu kembali pada konsep individu serta konteks riil yang mereka hadapi. Menyandarkan metode pemeriksaan ketidakadilan sebatas pada agregat dari jumlah dari keseluruhan, meski hasilnya adalah sebagian besar orang hidup sejahtera, kita mengabaikan mengapa dan bagaimana ketidakadilan tersebut bisa terjadi pada sebagain dari kelompok yang lainnya.
Salah satu contoh generalisasi adalah justifikasi pendapatan atau primary social goods milik Rawls. Hal yang lebih penting bagi Sen adalah bagaimana menggarisbawahi justru pada kemampuan individu untuk memanfaatkan primary social goods, mengolah komoditas atau pendapatannya untuk memungkinkan adanya pilihan-pilihan untuknya. Kita dapat mencermati di dalam contoh, misalnya, individu S memiliki pendapatan, tetapi pendapatan tersebut bersumber tidak dari kapabilitasnya untuk memilih. Ia terpaksa untuk menjadi buruh, ia tidak memiliki kapabilitas untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan lainnya. Meskipun individu S hidup dengan pendapatan yang mencukupi, kita tidak bisa katakan keadaan itu adil untuknya, karena pendapatan yang ia miliki disebabkan tekanan ekonomi. Lagipula, pendapatan yang ia miliki tidak cukup untuk menyediakan kesempatan baginya untuk belajar dan mengaktualisasikan entah itu kesenangan maupun aspirasinya untuk berprofesi yang lainnya.
Dalam contoh lainnya, misalnya berkaitan dengan gender equity. Seorang buruh perempuan bernama Nyoman di desa Depeha, Singaraja Bali. Meski ia bekerja dan memperoleh pendapatan. Ia tidak bisa dikatakan bebas karena ia diharuskan bekerja karena keadaannya yang miskin. Meski ia memiliki pendapatan, katakanlah, pendapatan itu cukup untuk membiaya sekolahnya, ia terbentur dengan persepsi tradisional, bahwa tidak lazim untuk perempuan bersekolah. Faktor kontekstual ini menjadi alasan yang diluar dari pengukuran pendapatan sebagai penanda adil atau tidaknya keadaan bagi individu. Nyoman tidak bisa bersekolah dan memaksimalisasikan kapabilitasnya karena adanya ‘social constraint’. Dari modul pendekatan kapabilitas ini akhirnya bisa dipahami mengapa keterlibatan perempuan di pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sangat minim di Bali.
Sen pada akhirnya mengunggulkan pemahaman tentang kebebasan sebagai kebebasan untuk menjadi capable. Kapabilitas itu membesarkan kesempatan seseorang untuk membentuk pilihan-pilihan yang dianggapnya fundamental bagi well-beingnya. Gagasan kapabilitas dari Sen sangat berdampak akan pemahaman kontemporer kita tentang apa itu depravasi, bagaimana depravasi kapabilitas menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.
  1. IV. Ketidakadilan di Kurukshetra
Argumentasi besar dari Sen bersandar pada dua konsep keadilan, yang ia serap dari tradisi India, yakni Niti dan Nyaya. Niti dapat diartikan sebagai prinsip moral, atau prinsip hukum untuk mengatur seseorang bagaimana bertindak yang baik dan adil. Sementara itu Nyaya lebih pada kemampuan penalaran, atau proses induktif seseorang untuk memahami keadilan. Sen tidak mengesampingkan pentingnya Niti, kita butuh aturan-aturan tersebut sebagai pedoman bertindak seseorang, tetapi tentunya aturan-aturan yang dimaksudkan untuk kebaikan tersebut, bukanlah peraturan atau institusi yang tertutup. Ia serangkaian peraturan yang dapat dikomparasikan dengan prinsip-prinsip lainnya, ia peraturan yang bisa dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial. Kemampuan komparatif ini yang dikatakan oleh Sen adalah kepekaan dalam proses memahmi keadilan dalam konteks Nyaya.
Menarik bila kita cermati contoh kompetisi prinsip keadilan di dalam analogi yang diberikan Sen, yakni dalam epos Mahabharata. Dalam teks Bhagavad Gita, dituliskanlah dialog antara Arjuna dengan Krishna sesaat sebelum perang besar (Bharata Yudha) antara Pandawa dan Kurawa terjadi. Dialog tersebut dimulai dengan skeptisisme Arjuna untuk turun ke medan perang, dengan pertimbangan bahwa ia akan melancarkan perang terhadap saudara-saudara dan gurunya. Bagaimana tindakan tersebut akan mengakibatkan pembunuhan, kesengsaraan dan kebencian. Selepas menyampaikan keluh kesahnya terhadap Krishna, Krishna menjawab dengan argumen yang meyakinkan, yang sesungguhnya sangat terpisah dari alasan bahwa dirinya adalah avatara dari Dewa Vishnu sebagai Tuhan. Alasan Krishna sangat sederhana, bahwa berperang melawan para Kurawa tidak bisa disejajarkan dengan pembunuhan maupun wujud kebencian, karena sesungguhnya Arjuna hanya menjalankan kewajiban alamiahnya sebagai seorang Ksatriya.
Natural Duty ini, dikelompokan oleh Sen sebagai pandangan deontologi (tetapi tidak Kantian), pandangan ini dianggap oleh Sen sebagai deontologi-independen-dari-konsekuensi. Bagi Krishna, Niti atau aturan tertinggi bagi seorang Ksatriya adalah menumpas Adharma atau keburukan, termasuk bila memang harus menggunakan kekerasan. Di sisi lainnya keraguan Arjuna untuk melancarkan perang dipandang oleh Sen sebagai consequece-sensitive-assessment. Kemampuan untuk melihat suatu problem melalui kesensitifan terhadap kondisi-kondisi yang sangat manusiawi.
Mengkritisir literalisasi terhadap Niti, inilah yang dimaksud oleh Sen sebagai institusi fundamentalis. Kita tidak bisa mensakralkan aturan dan mengikuti aturan tersebut dengan keyakinan buta. Sen membela posisi Arjuna, bahwa dalam Nyaya, fungsi serta keahlian Arjuna tidak saja secara sempit yakni hanya sebagai seorang ksatriya, tetapi juga sebagai seorang manusia. Secara imparsial, Arjuna dapat merasionalisasikan, bahwa setiap manusia berhak hidup, ingin jauh dari kekerasan dan peperangan, tidak terkecuali mereka yang mengaku dirinya sebagai Kurawa. Tetapi disisi lainnya, sensitifitas Arjuna memikirkan bahwa ia akan berperang dengan saudara-saudaranya, orang-orang yang ia kenal dan ketahui secara personal. Ia dapat menghubungkan rasa takut, rasa dilemma yang mungkin dirasakan juga oleh Bhisma guru yang sangat ia sayangi, yang mengelompokan dirinya sebagai Kurawa.
Pada akhirnya Arjuna pun berperang, dan kekhawatiran Arjuna terwujud benar, meskipun Pandawa memenangkan perang. Kesengsraan dan duka melanda seluruh kerajaan, Arjuna sulit berdamai dengan kenyataan bahwa ia berperang dalam perang besar tersebut. Terlepas dari hal itu, Sen ingin menekankan jeda yang diambil oleh Arjuna. Jeda untuk menjadi skeptis, itulah sensitifitas dari Arjuna. Begitu juga dalam memikirkan apa yang kita anggap adil, kita tidak bisa sepenuhnya menyerahkannya pada serangkaian aturan-aturan yang usang dan berjarak, kita harus mengandalkan akal sebagai instrumen terpercaya untuk memeriksa apa yang kita anggap adil atau tidak.
  1. V. Penutup
Spektrum keadilan menjadi lebih jelas dan realistis di dalam The Idea of Justice dari Amartya Sen. Individu yang rasional, sensitif dengan keadilan, dan bertanggung jawab, bagi Sen akan membentuk publik yang rasional. Di akhir argumentasinya, ia menekankan pentingnya penalaran publik sebagai maksimalisasi keadilan. Penalaran publik sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam the different principle, Sen menerima prinsip pertama sebagai fondasi kondisi yang adil, yakni pemahaman bahwa harus ada kesetaraan dan kebebasan. Tetapi ia mengkritik prinsip yang kedua, yang mengharuskan, yang konotasinya adalah memaksa, bagi individu untuk merelakan sebagian dari kebebasannya untuk kesejateraan bagi kelompok yang paling menderita.
Paradoks ini menurut Sen tidak perlu terjadi. Kita harus andaikan bahwa sensitifitas itu akan muncul dalam penalaran publik. Tentunya pencapaian ini bukan dalam pengertian kaku kulminatif, tetapi lebih pada komprehensif, bahwa publik secara rasional, melalui proses pemahaman yang dialogis, serta interaktif akan sampai pada pengertian bersikap adil terhadap mereka yang paling menderita. Proses ini menurut Sen lebih konsisten dengan semangat dari pengejaran akan konsep keadilan.
Bila jangkauan keadilan dari Rawls hanya sejauh dimana kontrak itu mengikat, Sen ingin melampaui batasan itu. Sepantasnya kita mempedulikan proses keadilan yang terjadi di negara-negara lainnya. Keadilan global bagi Sen dapat teraktualisasi jika seluruh komponen keadilan, khususnya pemahaman imparsial bahwa setiap orang memiliki hak yang paling mendasar untuk diperlakukan secara adil disadari oleh setiap individu. Hak azasi ini menurut Sen menjadi sangat fundamental dalam konsep bernegara, kita dapat memeriksa suatu negara, tidak saja sebagai institusi dalam sistem yang demokratis, tetapi aktualisasinya dalam merawat penegakan keadilan.
Keadilan bagi Sen harus melalui rasionalitas, serta imparsialitas yang terbuka. Namun ia tidak menampik aspek-aspek kemanusiaan kita, yakni kemampuan manusia untuk berbelas kasih, bertanggung jawab serta peduli dengan kebaikan. Aspek-aspek ini menurut Sen penting dalam proses komparatif untuk memahami apa itu keadilan. Baginya, menanyakan tentang apa itu keadilan tidak pernah lepas dari faktisitas kita sebagai manusia.
“The pursuit of theory of justice has something to do with a similar question: what is it like to be a human being?”[9]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar