Rabu, 14 Januari 2015

Laut Dan Luka

Sumber

Seminggu yang lalu ketika saya meninggalkan Jakarta, saya pergi dengan begitu banyak luka, secara batiniah saya lelah,kering, saya tidak lagi merasa hidup. Tanggung jawab baru, kondisi-kondisi yang tidak terduga mendorong saya untuk bekerja lebih keras, dan seringkali melampaui batas baik fisik maupun kejiwaan saya. Saya merasa letih, dan inspirasi telah sedemikian terkuras. Ada kalanya saya akan duduk di meja kerja, menatap layar computer dan tidak merasakan sentuhan dewi-dewi muse memberikan ilham. Saya merasa seperti nosferatu, the living dead, memang hidup, mampu berbicara, berdiri, bahkan tertawa, tetapi saya mati di dalam. Kematian ini menghambat perasaan saya terhadap keadaan sekeliling, saya merasa berjarak dengan siapapun dan apapun, saya merasa seperti mesin yang bekerja tanpa hasrat.
Segera setelah merampungkan semua pekerjaan, saya meninggalkan Jakarta beserta hiruk pikuknya. Sulit untuk dijelaskan mengapa saya romantis dan sentimental tentang Bali. Semasa remaja dulu saya adalah gadis yang sangat keras kepala dan pemberontak terhadap adat istiadat Bali, bahkan saya bertekad untuk meninggalkan Bali kelak untuk mencapai cita-cita. Saya selalu mengeluh bagaimana saya merasa terkungkung dengan peraturan adat, khususnya di masa lampau dimana tradisi masih sangat mengesampingkan perempuan. Saya merasa seperti tahanan, dan saya merasa kebebasan ada diluar sana, diluar Bali. Saya meninggalkan kampung halaman untuk berkelana, ke benua Eropa, studi di Jerman, menelusuri bagaimana hidup di Perancis, Inggris hingga Belanda, sampai akhirnya menetap di Jakarta dan bekerja sebagai dosen di UI. Saya belajar hal-hal yang memang tidak saya dapatkan di Bali, tentang bagaimana menjadi lapar dan mandiri.
12 tahun sekarang saya menetap di Jakarta, demi cita-cita memaksa diri tercerabut dari akar. Kini di usia 28 tahun saya merasa merindukan Bali seperti kekasih yang telah tercerai. Bukan hanya Bali sebagai tempat yang saya rindukan, tetapi manusianya, nilai-nilainya, serta kedamaiannya. Saya rindu kedamaian di Bali, yang dulu semasa remaja kesunyian itu sangat menyesakan saya. Kini setiap kali pulang kampung, kesunyian itu yang saya inginkan. Paradoksal memang, selama masa studi atau Brahmacarya, yang saya pelajari dari filsafat adalah, manusia hidup di ambang imposibilitas, di ambang paradox yang sulit dideskripsikan, yang gamang dan ambigu. Dulu saya merasa bingung dengan rasa mendua ini, tetapi kini, berada di tengah-tengah alam Tulamben saya mengerti, kita mampu merindukan sesuatu ketika kita pernah terpisah dengannya. Saya pernah meninggalkan Bali, seperti halnya gadis muda yang keras kepala, saya menanggung kesepian saya dipisahkan dengan kekasih. Rasa itu, rasa terancam kehilangan akar, kehilangan kehangatan Bali, sesungguhnya yang menyatukan saya dengan Bali. Saya mengambil resiko ketika meninggalkan desa sumerta kaja, meninggalkan kenyamanan untuk melempar dadu nasib, dan saya mungkin sukses di masa depan, mungkin juga tidak, tetapi satu hal yang menenangkan saya, Bali akan selalu setia menunggu.
Di blog setahun yang lalu, yang berjudul Bintang Laut, saya masih sangat optimistik tentang hidup. Saat ini, saya tiba tertatih-tatih pada Mahadewa Laut Varuna memohon untuk diberikan penawar dari rasa sakit dan kesedihan ini. Setibanya di Bali, saya memohon maaf pada sang Mahadewa, “wahai Varuna, maafkanlah kelancangan kekasihmu, lama berpergian meninggalkanmu, kini datang sekonyong-konyong menuntut pertolongan.” Tetapi Varuna masih mesra dengan saya. Meski air laut di musim ini begitu dingin di pagi harinya, saya akan bermanja dengan Varuna dan berdoa, sembuhkanlah saya dari rasa perih ini. Varuna menjawab melalui gelombang-gelombang ombak, memercik wajah sehingga membuat saya tertawa. Hal yang nampak begitu remeh, kemampuan untuk tertawa, yang selama ini telah terlupakan, kini berangsur-angsur dikembalikan. Varuna paham bagaimana membuat saya kembali tertawa. Di hadapan Varuna saya tidak perlu memikirkan tentang uang, jabatan, karir, dan lainnya, samudera menerima dengan terbuka, membiarkan saya menyelam ke tengah-tengah lautan, seolah-olah ia ingin mengingatkan, jiwa ingin dibebaskan, ia ingin menyelam ke dasar lautan tanpa merasakan takut. Laut mengajarkan saya untuk mengenyahkan rasa takut, saya menghormati laut, tetapi saya tidak pernah takut ketika berada di tengah-tengah lautan. Beberapa kali boat yang saya tumpangi hampir terbalik karena dihantam ombak dan arus yang kencang, atau disaat berenang, saya menyaksikan ombak yang begitu tinggi, saya merasa pasrah bila dihadapan Varuna. Pasrah, tapi tidak takut, untuk apa takut? Varuna-lah yang menyembuhkan saya dari berbagai rasa derita.
Disinilah saya bersembunyi sekarang, diantara rerimbunan pohon ketapang, pohon pisang dan pohon kamboja. Duduk menghadap laut menyelesaikan tulisan ini. Menyampaikan kepada teman-teman apa yang telah disampaikan oleh Dewa Laut dan segala isi kerajaannya. Ombak di Tulamben sangat besar di bulan ini, tiap malamnya kamar saya disergap angin pantai yang begitu dingin. Semalam disaat sulit untuk tidur, saya mendengar siulan angin yang merdu, siulan itu menenangkan saya, membuat saya lepas dari segala kekhawatiran. Tulamben adalah desa nelayan di sebelah Timur Bali, kurang lebih 100 km dari pusat kota Denpasar. Melewati Gianyar, Klungkung, Candi Dasa, Amlapura, lalu tibalah di Tulamben. Pedesaan yang kini menjadi surga bagi para penyembah lautan, mereka yang gemar, diving, snorkeling, atau aktivitas laut lainnya, disinilah mereka berkumpul tiap tahunnya di akhir bulan Juli. Daerah yang begitu sepi, yang terdengar hanyalah kejar-kejaran ombak. Asal kata Tulamben adalah Batulambih, atau bila diterjemaahkan adalah ‘banyak bebatuan’ . Bebatuan ini disebabkan oleh erupsi yang disebabkan oleh Gunung Agung di masa lampau. Uniknya, Tulamben tidak memiliki pantai dengan pasir, tetapi kumpulan bebatuan yang mulus berwarna hitam pekat. Beberapa sebesar kepalan tangan, tetapi beberapa berupa bongkahan-bongkahan besar. Laut Tulamben berwarna biru tua dengan berbagai jenis ikan berwarna-warni sebagai penduduknya. Clown Fish, Sweet Lips, Sail Fish, Nudiebranch, dan kesukaan saya, ikan-ikan mungil berwarna biru neon, atau Neon Damsel (Pomocentrus coelestis).
Mengapa air laut begitu menenangkan? Saya teringat konsep Melasti, umat Hindu menjelang melaksanakan tapa brata penyepian, terlebih dahulu melakukan upacara Melasti. Segala benda-benda sakral yang digunakan untuk upacara agama dibawa ke laut dan disucikan dengan air laut. Jadi, mungkin sekarang saya sedang rusak, tercemar dengan segala duka dan kecemasan, dan air laut yang menyucikan saya. Ada kalanya saya akan merenangi laut sejauh mungkin, menolak untuk berbalik ke daratan meski lengan dan kaki saya terasa nyeri. Saya merasa aman ditengah-tengah lautan, tidak ada yang lebih penting selain momentum itu, arus mengombang-ambingkan tubuh, langit biru tanpa awan, ikan-ikan menggoda kaki dan tangan. Saya merasa mungil diantara hamparan samudera biru itu, sekejap saja Varuna dapat menelan saya dan dunia tidak akan berhenti untuk bersedih, alam akan terus mengurai kehidupan. Rasa ini, rasa mungil ini, mengingatkan saya, apalah gunanya menangis hal-hal yang telah berlalu, apalah gunanya meratapi hal-hal yang terampas dari diri, toh, saya, dia, mereka, kekayaan duniawi ini, bukanlah apa-apa dihadapan maharaja Laut. Varuna mengajarkan saya untuk hidup terlepas dari ikatan, hidup untuk hari ini tanpa menyiksa diri dengan kemelekatan.
Dulu ketika kanak-kanak, setiap terjatuh dan melukai lutut dan kaki, Kakek selalu menghibur, menghapus air mata saya lalu berkata, “berenang saja, nanti lukanya sembuh kalau kena air laut.” Saya masih disembuhkan disini, di keheningan Tulamben. Luka ini, seperih apapun, saya serahkan pada laut untuk dilipur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar