Rabu, 14 Januari 2015

Svarga Terakhir

Ada masanya ketika lembayung di bali menoreh begitu indah, melatarbelakangi pemandangan pesisir pantai yang berkelok-kelok hingga jauh, lembah yang berbisik-bisik rimbun dengan pepohonan dan sawah hijau yang begitu damai. Bali disebut sebagai pulau dewata untuk beberapa alasan, pertama karena mayoritas penduduk di Bali menganut agama Hindu, yang masih sarat dengan animisme dan juga pemujaan pada dewa-dewi. Kedua, karena Bali begitu indah ia layak dinamakan sebagai surga di dunia, tempat dimana para dewata turun dari angkasa dan berbaur dengan manusia biasa.
Tetapi keindahan itu mulai memudar. Senjakala di Bali dibayang-bayangi oleh kondominium yang menjulang tinggi, lembah pun kini dijejali dengan villa-villa mewah dan sawah menjadi sangat langka di Bali. Bali telah berubah, Bali bukan lagi surgawi para dewata yang kerap di gambarkan seperti pada 15-20 tahun yang lalu. Tidak ada satupun yang terhindar dari laju perubahan, begitu juga halnya dengan pulau Bali. Semenjak meledaknya turisme pada tahun 1990-an, Bali membuka dirinya terhadap globalisasi. Pariwisata menjadi sumber pendapatan utama bagi pulau Bali. Roda ekonomi menggeliat di Bali, mengharuskan infrastruktur pariwisata disempurnakan. Seiring dengan investasi yang meningkat secara drastis di Bali, tanah menjadi incaran para konglomerat perhotelan. Tidak terkecuali tanah yang diperuntukan sebagai lahan hijau.
Di dalam karyanya The Sand County Almanac yang diterbitkan pada tahun 1949, Aldo Leopold mengatakan; “Lahan bukan sekadar tanah: lahan adalah energi yang mengalir ke dalam sirkuit yang melibatkan manusia, tumbuhan dan hewan.” Leopold merupakan salah satu tokoh awal yang berkontribusi pada berkembangnya teori-teori etika lingkungan. Ia mengatakan bahwa selama ini kita memandang dengan serampangan keberadaan tanah ataupun lahan. Di mata manusia lahan hanyalah sebidang tanah yang memiliki nilai fungsional atau ekonomis. Tetapi Leopold mendebat itu bukanlah makna sesungguhnya tentang lahan, lahan adalah suatu kesatuan yang di dalamnya terdiri berbagai spesies yang saling bergantung satu sama lainnya di dalam suatu keseimbangan. Kepentingan manusia seringkali mengacaukan kesetimbangan itu, yang berujung pada kerusakan alam.
Mengapa tanah harus dibela? Atau dalam pengertian Leopoldian; mengapa tanah harus diberikan pertimbangan etis? Manusia hidup berasumsi bahwa ia adalah penguasa alam, dikarenakan justifikasi rasionalnya, ia menganggap bahwa alam adalah sebatas benda yang dapat ia ambil, dan olah menurut kebutuhannya. Tetapi alam bernilai lebih dari apa yang dipersepsikan oleh manusia. Tanah menurut Leopold merupakan rumah bagi bio-komunitas yang begitu besar. Bila kesehatan tanah terganggu maka akan berdampak pada kesejahteraan seluruh makhluk. Efek kerusakan akan berantai-rantai hingga manusia pula yang akan menuai kerugian dari menghilangnya keseimbangan alam.
Apa yang diperingatkan oleh Leopold dapat kita gunakan untuk memeriksa kekisruhan yang menyangkut beberapa wilayah hijau di Bali. Khususnya fakta menghilangnya wilayah-wilayah hijau di Bali atas alasan pembangunan infrastruktur pariwisata. Sebut saja pembangunan Bali International Park dan yang paling terkini upaya reklamasi Teluk Benoa. Kontroversi diterbitkannya SK No. 2138/02-CL/HK/2012 yang kemudian dibatalkan dan digantikan SK Gubernur Bali No. 1727/01-B/HK2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa, menunjukan determinasi pemerintah untuk mereklamasi Teluk Benoa. Surat Keputusan ini terus berjalan tanpa menghiraukan suara protes berbagai kalangan masyarakat di Bali yang pro dengan pelestarian lingkungan. Segala protes dilayangkan mengingat data-data tentang ekosistem Teluk Benoa; ekosistem mangrove yang merupakan kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai konservasi Taman Hutan Raya. Kanal-kanal alamiah yang menghindarkan banjir di kota Denpasar, belum lagi padang lamun yang menjadi penyangga kehidupan berbagai spesies. Etiskah bila ekosistem ini dipertaruhkan?
Begitu pula dengan reklamasi yang telah terjadi di Pulau Serangan pada tahun 1992. Bukankah kerusakan ekosistem pulau Serangan memadai apabila dijadikan pembelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama? Reklmasi di Pulau Serangan memberikan dampak negatif pada seluruh jaringan ekosistem, tidak terkecuali nasib para penduduknya yang harus mengalami peralihan sosial, budaya dan ekonomi. Rusaknya ekosistem dasar laut menyebabkan matinya komunitas desa nelayan di Pulau Serangan. Inilah yang dimaksud oleh Leopold bahwa menjaga kesehatan suatu lahan berarti menjaga keberlanjutan dan ketahanan dari keseluruhan ekosistem. Para investor dan pihak pemerintah yang menginginkan reklamasi ini terjadi tentunya berpikir secara dangkal, bahwa alih fungsi lahan menjadi daerah pariwisata akan membawa keuntungan. Tetapi pertimbangan keuntungan material itu hanya bersifat jangka pendek, dan terkonsentrasi pada kepentingan manusia saja. Sementara itu yang dipertaruhkan dalam skala lebih luas dan tempo yang jauh ke masa depan; adalah keutuhan suatu ekosistem yang melibatkan nasib penduduk sekitar pula.
Terbayangkah Bali tanpa kekayaan alamnya? Sebab alam lebih dari sebatas lanskap yang memiliki nilai estetis. Kebudayaan dan religi orang Bali tergantung pula dari keberlanjutan alam. Tradisi dan nilai-nilai tentang keharmonisan merupakan inspirasi dan anugerah dari alam. Sehingga bila tidak ada lagi alam liar maka seluruh tatanan spiritualitas dan kosmologi orang Bali akan turut hancur. Di dalam bahasa sanskerta bhumi berarti tanah, bahkan kita selalu menyebut tanah air kita sebagai pertiwi atau prtivhi. Di dalam Atharva Veda buku XII disebutkan bahwa Prtivhi sebagai dewi pemelihara yang merawat manusia, menjaga seluruh makhluk bahkan memaafkan yang bertindak buruk kepadanya sekalipun. Alam memang bermurah hati pada manusia, sebagaimanapun manusia bertindak destruktif. Tetapi perlu ditimbang secara kritis, sejauh manakah bumi dapat bertahan menanggung keserakahan manusia?
Bali adalah surga yang terakhir, tempat di mana dahulu manusia dapat merasakan denyut semesta. Keseimbangan dapat dipulihkan kembali, jika ada kemauan untuk mengubah pola pikir dan bersikap bijak menimbang pembangunan yang berkesesuaian dengan alam. Jangan sampai keindahan tanah Bali tinggal nostalgia belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar