Ditahannya empat pejuang lingkungan yang juga masyarakat dari desa Sidakarya, Bali menjadi petanda penting eskalasi perjuangan dalam mempertahankan tanah Benoa. Penangkapan ini berawal dari protes warga yang diselenggarakan pada tanggal 16 Februari 2014, dimana warga yang tergabung dalam JALAK (Jaringan Aksi Tolak Reklamasi) melakukan aksi damai di depan kantor Kepala Desa Sidakarya. Berhari-hari mereka merasa tidak ada respon dari aparat tentang aspirasi mereka, empat pemuda memindahkan beberapa spanduk dan juga kain putih yang berisikan komentar dan protes warga ke depan gerbang kantor Gubernur Bali. Tulisan didalam spanduk inilah yang kemudian digunakan oleh Kepolisian untuk menangkap empat pejuang lingkungan yang melakukan protes.
Sebelum kriminalisasi ini terjadi, dua bulan sebelumnya tepatnya tanggal 20 Januari 2014, ForBali (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi) telah melakukan audiensi ke Komnas HAM di Jakarta. Isi dari audiensi yang dilakukan adalah dialog dengan komisioner Komnas HAM yang berisikan; laporan tentang tindak kekerasan yang dialami para demonstran pejuang lingkungan dan juga kekhawatiran bahwa pihak penguasa akan melakukan upaya-upaya mengkriminalisasi para aktivis demi usaha untuk menggembosi gerakan perlawanan Anti Reklamasi. Nyatanya, kecemasan itu terbukti benar, karena kini empat orang aktivis lingkungan telah ditahan.
Ada narasi besar yang tengah berlangsung. Pihak pemegang kekuasaan di pemerintah, dengan para penanam modal, dua kekuasaan ini bersinergi untuk satu tujuan akhir; uang. Tidak saja di Bali, sebut saja berbagai daerah hijau di seluruh Indonesia yang akhirnya diperjualbelikan. Alam dikomersialisasikan, dijual bagi penawar yang tertinggi. Inilah citra masyarakat modern di Indonesia. Rupanya segala permintaan investor adalah perintah yang harus dikabulkan, betapapun proposal itu menerobos peraturan-peraturan yang ada. Reklamasi Teluk Benoa jelas menyalahi peraturan, SK yang diterbitkan Gubernur Bali melanggar; pasal 55 ayat (5) Perpres no 45 tahun 2011 yang menyebutkan; “Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas: b. kawasan konservasi perairan, di perairan kawasan Sanur di kecamatan Denpasar, Kota Denpasar, perairan kawasan Teluk Benoa sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dan perairan kawasan Kuta di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.” Jelas Teluk Benoa termasuk sebagai kawasan konservasi yang tidak dapat terjamah reklamasi, disebutkan lagi pada pasal 2 ayat (3) Perpres no 122 tahun 2012 yang menegaskan; “Reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi.”
Apa yang patut diketahui masyarakat luas adalah, rencana reklamasi Teluk Benoa hanyalah sebagian kecil dari rencana besar mega proyek dalam “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” (MP3EI) yang direncanakan pada tahun 2011-2025. Pertanyaan kritis yang patut diajukan pada pemerintah adalah; pihak manakah yang paling diuntungkan dengan diterapkannya mega proyek ini? Tentunya bukan masyarakat lokal, yang direbut alamnya, dirusak tatanan masyarakat tradisionalnya. Bukankah suara masyarakat setempat sudah lantang berteriak bahwa mereka menolak rencana reklamasi Teluk Benoa? Mengapa pemerintah daerah yang juga disokong pemerintah pusat tetap bersikeras menjalankan mega proyek ini?
Vandana Shiva dalam perjuangannya melawan mesin kapitalisme yang menggerogoti masyarakat lokal India berkata; “Pembangunan memiliki arti berakhirnya ikatan ekologis dan budaya dengan alam; dan di dalam masyarakat, pembangunan berarti perubahan dari komunitas organik ke dalam kelompok tergusur dan individu teralienasi yang mencari identitas yang hilang.” Inilah yang mulai terjadi di Bali, sebagian besar masyarakatnya tercerai dari ikatan ekologisnya karena kemanapun kita melihat, suasana alam liar telah tergantikan dengan pembangunan hotel dan resor mewah. Seperti yang Vandana Shiva sampaikan, pembangunan infrastruktur pariwisata ini mengakibatkan berubahnya komunitas organik; nelayan, petani, alih-alih disejahterakan, pembangunan ini justru meminggirkan masyarakat lokal. Hendaknya pemerintah tidak melupakan kegagalan proyek reklamasi Pulau Serangan yang terjadi 22 tahun yang lalu. Reklamasi pulau Serangan menyebabkan rusaknya ekosistem yang berakibat drastis pada tergusurnya kelompok nelayan. Untuk apa mengulangi kesalahan yang sama? Demi menyenangkan investor, meraup untung sesaat tetapi mengorbankan komunitas organik?
Lenyapnya komunitas organik sedang terjadi diseluruh Indonesia, rakyat dibenturkan dengan konglomerat perhotelan, kapitalis kelapa sawit, pengusaha batubara. Mengutip Felix Guattari dari karyanya Tiga Ekologi ia mengkritik Integrated World Capitalism, “Dunia kapitalisme terintegrasi cenderung mengubah pusat kuasanya, dari struktur produksi barang dan jasa kemudian menjurus pada produksi tanda, syntax.” Kapitalisme tidak lagi dipahami secara tradisional, yakni kelompok pemilik modal dan penguasa mesin produksi, dalam konteks Guattari kapitalis adalah penguasa tanda dan wacana. Wacana yang tengah bergulir dan dipopulerkan para kapitalis adalah percepatan pembangunan ekonomi, di mana pemerintah turut pula mensukseskan program itu. Tanpa memahami terlebih dahulu siapa yang dikorbankan dengan pembangunan atas nama kemajuan ekonomi tersebut. Pembangunan yang dilakukan para kapitalis perhotelan dan megamall juga mengubah pola hidup masyarakat organik menjadi cenderung konsumtif dan mengejar kemewahan dibandingkan hidup yang sederhana bersahaja berdampingan dengan alam.
Guattari juga menyoroti bagaimana kapitalisme menguasai tiga relasi manusia, yakni subjek dengan kesadarannya sendiri, subjek dengan masyarakatnya dan subjek dengan alamnya. Menggunakan perspektif Guattari dalam meneropong kondisi masyarakat di Bali, budaya kapitalis merusak tiga relasi penting manusia tersebut. Hancurnya alam menyebabkan juga malapetaka kebudayaan di Bali. Budaya Bali tumbuh dari keyakinan bahwa alam adalah penyebab kebahagiaan manusia. Identitas individual maupun identitas kultural masyarakat di Bali terhubung secara erat dengan keberadaan alamnya. Budaya kapitalisme mengeringkan manusia dari kekayaan nilai-nilai spiritual ekologis. Mendahulukan kepentingan untuk mengeruk untung dibandingkan untuk hidup harmonis bersama alam. Paham semacam ini muncul dari prinsip kapitalistik yakni kebebasan maksimal untuk mencapai keuntungan material, dibandingkan untuk mencapai kebijaksanaan. Tentunya paham ini sangat bertentangan dengan kearifan masyarakat di Bali.
Ada alasan filosofis mengapa tradisi Hindu meninggikan tanah. Dalam kosmologi Hindu, tanah adalah salah satu elemen dasar dari 5 bentuk elemen-elemen substansial kehidupan. Di dalam Svetasvatara Upanisad dan Filsafat Samkhya disebutkan bahwa tanah adalah asal muasal kehidupan. Tanah merupakan wujud dari tahapan kehidupan yang berisikan kelahiran, kematian lalu berulang kembali. Tanah adalah representasi siklus samsara kita sebagai makhluk hidup.
Para pendahulu kita sering berkata, Bali adalah tanah leluhur. Pengertian tanah leluhur menandakan bahwa tanah yang kita miliki tidak saja berharga sedangkal yang dipahami oleh para pengembang–yang menyebut sebidang tanah dengan properti. Tetapi tanah mengendapkan sejarah, kisah manusia dan juga harkatnya. Frasa tanah leluhur juga mengikat kita dengan suatu tanggung jawab, untuk merawatnya, dan mempertahankannya. Kembali pada kasus penahanan empat pejuang lingkungan dari Sidakarya. Alangkah tidak adilnya penahanan terhadap empat orang pemuda ini, mengingat apa yang mereka lakukan adalah memperjuangkan tanah yang sangat mereka cintai, tanah leluhurnya. Mereka sama sekali tidak bertempat di penjara, dan segala kriminalisasi terhadap mereka sejatinya adalah kejahatan terhadap harkat kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar