Rabu, 14 Januari 2015

Mengejar ( Gagasan ) Keadilan

Mengejar (Gagasan) Keadilan
  1. I. Pengantar
Keadilan kerap diutarakan, diucapkan lantang dalam revolusi, tertulis dengan megah dalam teks-teks filsafat, dan dijanjikan dalam undang-undang Negara. Kita merasa mengetahui apa itu keadilan, kita hidup dengan rasa tentram bahwa keadilan adalah kecenderungan dari progress dan peradaban manusia. Tetapi sungguhkan kita mengetahui apa keadilan itu? Apa yang dimaksud dengan kondisi yang adil? Atau masyarakat yang adil? Amartya Sen di dalam karyanya The Idea of Justice ingin menyoal tentang keadilan. Ia bukan yang pertama memiliki misi untuk mengurai makna dari keadilan. Para pendahulunya termasuk John Rawls, John Stuart Mill, bahkan hingga Immanuel Kant, telah terlebih dahulu mencoba memberikan argumen yang memadai tentang ‘nature’ dari keadilan tersebut.
Sorotan utama dari investigasi Sen adalah konsep keadilan yang dibicarakan oleh John Rawls dalam karyanya A Theory of Justice. Meski sepaham dengan Rawls mengenai penekanan pada akal budi sebagai penelusur proses serta kondisi yang adil, Sen berbeda pendapat tentang metode evaluasi dari keadilan. Rawls yang sangat taat dengan metode Kantian yang transendental, meyakini melalui hipotesa original positionnya, individu selalu bertujuan pada keadilan. Bagi Sen metode ini tidak akurat merepresentasikan pemahaman tentang keadilan, khususnya betapa bervariasinya kondisi riil dari masyarakat. Pendekatan Sen lebih memberi ruang terhadap alternatif-alternatif paham keadilan, dibandingkan mencoba membuat satu garis prinsip keadilan yang universal.
Namun meski dikritik secara tajam oleh Sen, Rawls bagi Sen beperan penting bagi perkembangan teori keadilan, khususnya dengan pengertian ‘justice as fairness’. Keadilan menekankan prasyarat-prasyarat, peran Rawls adalah elaborasi terhadap prasyarat tersebut, seperti keharusan dari masyarakat yang rasional, imparsialitas serta memiliki dan mempraktikan kebebasannya[1]. Hal lainnya yang disanjung oleh Sen adalah kontribusi Rawls terhadap penekanan pada kekuatan moral yang dimiliki oleh manusia. Bahwa secara umum manusia memiliki kesadaran akan apa yang dianggap baik serta adil.
Karya The Idea of Justice dari Amartya Sen, bisa dikatakan istimewa, karena penggunaan teori-teori penting, dari Marquis de Condorcet, John Stuart Mill, Adam Smith, Isaiah Berlin, John Locke, Immanuel Kant, Mary Wollstonecraft, hingga John Rawls, dan Kenneth Arrow. Dengan kejeliannya melihat relevansi maupun kelemahan dari suatu teori, Sen memberikan analisa yang begitu tajam.
  1. II. Demistifikasi Keadilan
Kita selalu beranggapan bahwa sifat yang adil bukanlah sesuatu yang kebetulan ada dalam manusia. Keadilan itu niscaya, dan merupakan kemuliaan dari identitas seorang manusia. Setidaknya, itulah yang diyakini oleh para filosof abad pencerahan, layaknya Immanuel Kant. Sen, menyampaikan, sebelum kita jatuh pada idealisme tentang gagasan keadilan, kita harus pikirkan secara rasional kemungkinan-kemungkinan bagaimana kita memahami apa keadilan tersebut. Sen melihat ada dua kecenderungan pengejaran paham tentang keadilan ala tokoh pencerahan seperti Locke, Hobbes, Rousseau dan Kant. Pertama, penekanan pada identifikasi pada bentuk gagasan keadilan yang sempurna, yang kedua adalah penekanan pada penciptaan institusi yang transendental, yang melalaikan gejala-gejala riil dalam masyarakat. Bagi Sen, urgensi dari penyelidikan tentang keadilan, tidak hanya mengabstraksikan seperti apakah institusi keadilan yang sempurna, tetapi lebih pada, bagaimanakah kita berada pada kondisi yang adil, serta meningkatkan keadilan melalui realisasi aktual, dan komparasi yang terjadi pada individu ditengah mereka hidup bermasyarakat.
Keberatan Sen terhadap Rawls serupa dengan keberatannya terhadap para kontraktarian abad pencerahan. Walaupun menyepakati akal sebagai alat utama analisa terhadap kondisi keadilan dalam konsep justice as fairness, Sen mengkritik beberapa teori penting dari Rawls. Salah satunya adalah konsep kontrak serta posisi awal (original position) Ada beberapa masukan penting yang dibuat oleh Sen, khususnya memeriksa seberapa jauh gagasan posisi awal bisa diterapkan dalam aktualitas. Selain problem aplikasi dari posisi awal, yang terpenting dari kritik Sen adalah mengenai imparsialitas dari posisi awal yang menurut Sen merupakan bentuk imparsialitas tertutup;
“With closed impartiality the procedure of making impartial judgement invokes only the members of a given society or nation (or what John Rawls calls a given ‘people’) for whom the judgements are being made.”[2]
Rawls menganggap bahwa konsep posisi awal, hanya bekerja dalam kondisi eksklusif masyarakat yang membuat kontrak. Ia tidak melibatkan kelompok maupun individu lainnya yang berdiri diluar kontrak tersebut. Problem yang muncul dengan posisi awal Rawls menurut Sen adalah bagaimana terputusnya relasi riil individu lokal, dengan mereka yang diluar kontrak. Tentunya bila ini terjadi, perbandingan, atau pembaharuan tentang relasi yang adil tidak akan menjadi maksimal. Mengutip Adam Smith, Sen lebih cenderung mendorong bentuk imparsialitas terbuka, atau teori Smith tentang ‘Impartial Spectator;
“The Smithian ‘impartial spectator’ is, of course, a device for critical scrutiny and public discussion. It need not, therefore, seek unanimity or total agreement in the way that the institutional straitjacket of Rawlsian theory of justice demands.”[3]
Imparsialitas penting dalam teori keadilan, Rawls mengharuskan ‘cadar ketidaktahuan’ yang merupakan analogi dari konsep ‘disinterestedness’ dari pandangan moral Kant. Bahwa bersikap adil serta baik sepatutnya dilakukan kepada siapapun, tanpa membedakan kelas, ras, maupun afiliasi kelompok tertentu. Tetapi bagi Sen untuk menerapkan imparsialitas hanya bagi peserta dari kontrak (membership entitlement) tersebut, sama saja mengacuhkan keterlibatan individu lokal dengan mereka yang diluar kontrak. Sen menegaskan, bagaimana kita tidak bisa lagi mengabaikan kritik maupun komentar dari mereka yang menyimak diluar kontrak, yang bagi Sen merupakan komentator yang lebih jeli dan objektif. Sen menganggap bahwa penegakan keadilan atau kegagalan kondisi yang adil disuatu daerah akan mempengaruhi kondisi keadilan di daerah-daerah yang lainnya. Atas alasan inilah pembicaraan tentang imparsialitas haruslah dalam pengertian yang terbuka. Keterbukaan ini memungkinkan diskusi publik yang penuh dengan gagasan yang bermacam-macam tentang keadaan yang dianggap adil.
Sanggahan Sen lainnya terhadap pendekatan transendentalis Rawls adalah tentang ‘The Different Principle’. Khususnya mengenai pemenuhan primary social goods. Sen mengkritik penyederhanaan pemenuhan kebutuhan primer sebagai kondisi yang adil. Sen menganggap prinsip ini tidak lagi cukup, dan tidak cukup membumi untuk menyentuh problem riil dari fenomena ketidakadilan seperti kemiskinan atau disparitas ekonomi. Bagi Sen penting untuk mendeteksi ketidakadilan melalui pendekatan yang lebih spesifik, tidak sekedar pemenuhan ‘social goods’ ataupun cukup ditandai dengan keberadaan institusi-institusi. Kondisi adil bagi Sen adalah dimungkinkannya kemampuan masyarakat untuk melakukan pilihan sosial. Pilihan-pilihan inilah menjadi penanda utama bahwa situasi keadilan sungguh-sungguh ada.
Sen mewaspadai pandangan fundamental institution, bahwa institusi tidak bisa dijadikan andalan utama barometer bahwa keadilan telah terjadi. Rawls, karena ia bersikeras dalam posisi awal ada kesepakatan prinsip justice as fairness, ia cukup menunjukan keberadaan institusi sebagai tanda keadaan yang adil, institusi tersebut sempurna, ia tidak akan gagal apalagi salah.  Sen menolak penekanan pada institusi, sekalipun ada kesepakatan awal dalam original position. Sen melihat aspek-aspek dari pengadaan kondisi yang adil lebih luas dari itu, serta melibatkan perspektif yang lebih radikal untuk memahami keadilan;
“We have to seek institutions that promote justice, rather than treating the institutions as themselves manifestations of justice, which would reflect a kind of institutionally fundamentalist view”[4]
Telah disinggung secara singkat tentang signifikansi dari adanya ‘social choice’, argumen Sen tentang pilihan sosial merupakan bantahan utama terhadap transendental justice dari Rawls. Gagasan keadilan transendental yang memaksimalkan energinya untuk mencarai bentuk keadilan yang sempurna, bagi Sen melalaikan pentingnya suara-suara individual. Sen memberikan analogi yang baik bagaimana problematisnya upaya untuk mencapai keadilan yang sempurna, ia contohkan estetika. Sulit membayangkan seni yang bisa dikriteriakan sebagai paling baik dan indah, begitu juga dalam mengimajinasikan masyarakat yang sesungguhnya adil secara transendental. Keadilan bisa secara nyata diketahui serta dikoreksi melalui kemampuan komparatif. Tetapi bagi Sen metode komparatif ini tidak serta merta memiliki telos untuk mengejar keadilan yang sempurna, justru, metode komparatif cukup bekerja sebagai alat evaluasi dari assessment tentang keadilan.
Dalam pandangan yang cenderung Totalis, seperti transendental justice dari Rawls, ‘incompleteness’ atau ketidaktuntasan dianggap sebagai kegagalan suatu teori keadilan. Sen mengambil sikap yang berbeda. Ia berargumen justru ketidaktuntasan adalah urgensi bagi akal untuk selalu melakukan re-assessment, melakukan koreksi, dimana letak penyebab terjadinya ketidakadilan, atau bagaimana strategi yang lebih baik untuk memaksimalkan keadilan;
“The acceptability of evaluative incompleteness is indeed a central subject in social choice theory in general, and it is relevant to theories of justice as well.”[5]
Social choice menjadi keharusan dalam teori keadilan Sen. Ia mengutip Condorcet dan Arrow dalam merumuskan substansi dari diterapkannya social choice. Meski teori sosial choice dari kedua tokoh ini terbentur dengan problem, Condorcet Paradox dan Impossibility Theorem dari Arrow, Sen lagi-lagi menekankan pentingnya untuk jangan berkesimpulan totalis tentang suatu teori. Kita harus bayangkan teori-teori tersebut dimaksudkan sebagai instrumen assessment. Sehingga selain mencapai kondisi yang adil sebagai suatu hasil, Sen menitikberatkan juga proses. Prosuderal atau tahap untuk mencapai masyarakat yang adil bagi Sen tidak bisa meluputkan adanya social choice.
Beberapa argumen diberikan oleh Sen tentang mengapa social choice lebih relevan sebagai komponen dari teori keadilan. Social choice[6] fokus dengan ide komparatif, penalaran praktis yang dilakukan oleh individu dalam menelaah apa itu keadilan. Selain itu Sen menekankan juga dalam social choice kita menghindari keyakinan ada satu keadilan yang benar dan tunggal, kita harus merekognisi adanya keberagaman prinsip-prinsip yang selalu dikonteskan atau diperbandingkan. Perbandingan dan diversitas ide-ide ini sangat fundamental, karena membolehkan kita memeriksa ulang suatu prinsip.
  1. III. Kapabilitas
Kemiskinan dapat dikatakan menjadi motivasi utama Sen untuk memformulasikan pendekatan yang lebih komprehensif tentang teori keadilan. Sen yang menghabiskan masa kecilnya di Bengal Barat, di desa Santiniketan[7], ia tidak asing dengan kondisi kemiskinan yang ekstrem. Ia beranggapan bahwa selama ini masalah kemiskinan susah untuk dieliminir karena ada kesalahan perspektif dalam mencermati asal-muasal dari kondisi kemiskinan tersebut. Ia mengkritik penyederhanaan yang dilakukan oleh Rawls tentang social primary goods serta pemahaman yang rigid tentang institusi, begitu juga pendekatan para utilitarian yang homogen mengeneralisir bahwa maksimalisasi kesenangan sebagai keadaan yang adil.
Tolak ukur dari keadaan yang adil atau tidak, bagi Sen lebih akurat menggunakan pendekatan kapabilitas. Pendekatan ini berkaitan dengan bagaimana individu memiliki kapabilitas untuk melakukan sesuatu, atau memilih melakukan hal-hal yang ia anggap penting untuk well-beingnya;
“The capability approach focuses on human life, and not just on some detached objects of convenience, such as incomes or commodities that a person may possess, which are often taken, especially in economic analysis, to be the main criteria of human success”[8]
Lebih dalam lagi, Sen mengkaji ulang pengertian kita tentang opportunity, bagaimana hubungan kebebasan kita dengan adanya kesempatan tersebut. Kebebasan menurut Sen bisa dipahami melalui dua cara, yang pertama pemahaman kebebasan dengan adanya kesempatan tersebut. Kesempatan semacam ini dianggap oleh Sen adalah pemahaman kesempatan yang sempit, karena cukup mengartikan adanya kebebasan bila, dimungkinkan adanya kebebasan tersebut. Cara yang kedua berkaitan dengan penekananan adanya proses. Aspek proses dari kebebasan menurut Sen melebarkan pandangan tentang kesempatan. Karena aksentuasi utama dari kebebasan sebagai proses, adalah adanya aktualisasi dari pilihan. Proses menjadi syarat yang tidak bisa dilalaikan dalam teori keadilan Sen, khususnya proses yang mengharuskan adanya kebebasan individu untuk memilih fungsi kapabilitas yang ingin ia aktualisasikan.
Sen membedakan dua cara mencapai situasi yang adil, yang pertama adalah pendekatan kulminasi, yang mengukur kesuksesan hanya sebatas kondisi yang dicita-citakan telah tercapai. Sementara itu Sen lebih memberatkan pemeriksaan melalui pendekatan komprehensif, yakni apakah pencapaian tersebut sungguh-sungguh murni atas dasar kebebasan individu, ataukah pencapaian tersebut dipaksakan, atau pencapaian tersebut memang berdasarkan kemampuan memilih individu tersebut.
Sen bersikukuh, bahwa dalam membuat modul untuk memahami kondisi yang adil atau tidak, kita harus selalu kembali pada konsep individu serta konteks riil yang mereka hadapi. Menyandarkan metode pemeriksaan ketidakadilan sebatas pada agregat dari jumlah dari keseluruhan, meski hasilnya adalah sebagian besar orang hidup sejahtera, kita mengabaikan mengapa dan bagaimana ketidakadilan tersebut bisa terjadi pada sebagain dari kelompok yang lainnya.
Salah satu contoh generalisasi adalah justifikasi pendapatan atau primary social goods milik Rawls. Hal yang lebih penting bagi Sen adalah bagaimana menggarisbawahi justru pada kemampuan individu untuk memanfaatkan primary social goods, mengolah komoditas atau pendapatannya untuk memungkinkan adanya pilihan-pilihan untuknya. Kita dapat mencermati di dalam contoh, misalnya, individu S memiliki pendapatan, tetapi pendapatan tersebut bersumber tidak dari kapabilitasnya untuk memilih. Ia terpaksa untuk menjadi buruh, ia tidak memiliki kapabilitas untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan lainnya. Meskipun individu S hidup dengan pendapatan yang mencukupi, kita tidak bisa katakan keadaan itu adil untuknya, karena pendapatan yang ia miliki disebabkan tekanan ekonomi. Lagipula, pendapatan yang ia miliki tidak cukup untuk menyediakan kesempatan baginya untuk belajar dan mengaktualisasikan entah itu kesenangan maupun aspirasinya untuk berprofesi yang lainnya.
Dalam contoh lainnya, misalnya berkaitan dengan gender equity. Seorang buruh perempuan bernama Nyoman di desa Depeha, Singaraja Bali. Meski ia bekerja dan memperoleh pendapatan. Ia tidak bisa dikatakan bebas karena ia diharuskan bekerja karena keadaannya yang miskin. Meski ia memiliki pendapatan, katakanlah, pendapatan itu cukup untuk membiaya sekolahnya, ia terbentur dengan persepsi tradisional, bahwa tidak lazim untuk perempuan bersekolah. Faktor kontekstual ini menjadi alasan yang diluar dari pengukuran pendapatan sebagai penanda adil atau tidaknya keadaan bagi individu. Nyoman tidak bisa bersekolah dan memaksimalisasikan kapabilitasnya karena adanya ‘social constraint’. Dari modul pendekatan kapabilitas ini akhirnya bisa dipahami mengapa keterlibatan perempuan di pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sangat minim di Bali.
Sen pada akhirnya mengunggulkan pemahaman tentang kebebasan sebagai kebebasan untuk menjadi capable. Kapabilitas itu membesarkan kesempatan seseorang untuk membentuk pilihan-pilihan yang dianggapnya fundamental bagi well-beingnya. Gagasan kapabilitas dari Sen sangat berdampak akan pemahaman kontemporer kita tentang apa itu depravasi, bagaimana depravasi kapabilitas menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.
  1. IV. Ketidakadilan di Kurukshetra
Argumentasi besar dari Sen bersandar pada dua konsep keadilan, yang ia serap dari tradisi India, yakni Niti dan Nyaya. Niti dapat diartikan sebagai prinsip moral, atau prinsip hukum untuk mengatur seseorang bagaimana bertindak yang baik dan adil. Sementara itu Nyaya lebih pada kemampuan penalaran, atau proses induktif seseorang untuk memahami keadilan. Sen tidak mengesampingkan pentingnya Niti, kita butuh aturan-aturan tersebut sebagai pedoman bertindak seseorang, tetapi tentunya aturan-aturan yang dimaksudkan untuk kebaikan tersebut, bukanlah peraturan atau institusi yang tertutup. Ia serangkaian peraturan yang dapat dikomparasikan dengan prinsip-prinsip lainnya, ia peraturan yang bisa dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial. Kemampuan komparatif ini yang dikatakan oleh Sen adalah kepekaan dalam proses memahmi keadilan dalam konteks Nyaya.
Menarik bila kita cermati contoh kompetisi prinsip keadilan di dalam analogi yang diberikan Sen, yakni dalam epos Mahabharata. Dalam teks Bhagavad Gita, dituliskanlah dialog antara Arjuna dengan Krishna sesaat sebelum perang besar (Bharata Yudha) antara Pandawa dan Kurawa terjadi. Dialog tersebut dimulai dengan skeptisisme Arjuna untuk turun ke medan perang, dengan pertimbangan bahwa ia akan melancarkan perang terhadap saudara-saudara dan gurunya. Bagaimana tindakan tersebut akan mengakibatkan pembunuhan, kesengsaraan dan kebencian. Selepas menyampaikan keluh kesahnya terhadap Krishna, Krishna menjawab dengan argumen yang meyakinkan, yang sesungguhnya sangat terpisah dari alasan bahwa dirinya adalah avatara dari Dewa Vishnu sebagai Tuhan. Alasan Krishna sangat sederhana, bahwa berperang melawan para Kurawa tidak bisa disejajarkan dengan pembunuhan maupun wujud kebencian, karena sesungguhnya Arjuna hanya menjalankan kewajiban alamiahnya sebagai seorang Ksatriya.
Natural Duty ini, dikelompokan oleh Sen sebagai pandangan deontologi (tetapi tidak Kantian), pandangan ini dianggap oleh Sen sebagai deontologi-independen-dari-konsekuensi. Bagi Krishna, Niti atau aturan tertinggi bagi seorang Ksatriya adalah menumpas Adharma atau keburukan, termasuk bila memang harus menggunakan kekerasan. Di sisi lainnya keraguan Arjuna untuk melancarkan perang dipandang oleh Sen sebagai consequece-sensitive-assessment. Kemampuan untuk melihat suatu problem melalui kesensitifan terhadap kondisi-kondisi yang sangat manusiawi.
Mengkritisir literalisasi terhadap Niti, inilah yang dimaksud oleh Sen sebagai institusi fundamentalis. Kita tidak bisa mensakralkan aturan dan mengikuti aturan tersebut dengan keyakinan buta. Sen membela posisi Arjuna, bahwa dalam Nyaya, fungsi serta keahlian Arjuna tidak saja secara sempit yakni hanya sebagai seorang ksatriya, tetapi juga sebagai seorang manusia. Secara imparsial, Arjuna dapat merasionalisasikan, bahwa setiap manusia berhak hidup, ingin jauh dari kekerasan dan peperangan, tidak terkecuali mereka yang mengaku dirinya sebagai Kurawa. Tetapi disisi lainnya, sensitifitas Arjuna memikirkan bahwa ia akan berperang dengan saudara-saudaranya, orang-orang yang ia kenal dan ketahui secara personal. Ia dapat menghubungkan rasa takut, rasa dilemma yang mungkin dirasakan juga oleh Bhisma guru yang sangat ia sayangi, yang mengelompokan dirinya sebagai Kurawa.
Pada akhirnya Arjuna pun berperang, dan kekhawatiran Arjuna terwujud benar, meskipun Pandawa memenangkan perang. Kesengsraan dan duka melanda seluruh kerajaan, Arjuna sulit berdamai dengan kenyataan bahwa ia berperang dalam perang besar tersebut. Terlepas dari hal itu, Sen ingin menekankan jeda yang diambil oleh Arjuna. Jeda untuk menjadi skeptis, itulah sensitifitas dari Arjuna. Begitu juga dalam memikirkan apa yang kita anggap adil, kita tidak bisa sepenuhnya menyerahkannya pada serangkaian aturan-aturan yang usang dan berjarak, kita harus mengandalkan akal sebagai instrumen terpercaya untuk memeriksa apa yang kita anggap adil atau tidak.
  1. V. Penutup
Spektrum keadilan menjadi lebih jelas dan realistis di dalam The Idea of Justice dari Amartya Sen. Individu yang rasional, sensitif dengan keadilan, dan bertanggung jawab, bagi Sen akan membentuk publik yang rasional. Di akhir argumentasinya, ia menekankan pentingnya penalaran publik sebagai maksimalisasi keadilan. Penalaran publik sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam the different principle, Sen menerima prinsip pertama sebagai fondasi kondisi yang adil, yakni pemahaman bahwa harus ada kesetaraan dan kebebasan. Tetapi ia mengkritik prinsip yang kedua, yang mengharuskan, yang konotasinya adalah memaksa, bagi individu untuk merelakan sebagian dari kebebasannya untuk kesejateraan bagi kelompok yang paling menderita.
Paradoks ini menurut Sen tidak perlu terjadi. Kita harus andaikan bahwa sensitifitas itu akan muncul dalam penalaran publik. Tentunya pencapaian ini bukan dalam pengertian kaku kulminatif, tetapi lebih pada komprehensif, bahwa publik secara rasional, melalui proses pemahaman yang dialogis, serta interaktif akan sampai pada pengertian bersikap adil terhadap mereka yang paling menderita. Proses ini menurut Sen lebih konsisten dengan semangat dari pengejaran akan konsep keadilan.
Bila jangkauan keadilan dari Rawls hanya sejauh dimana kontrak itu mengikat, Sen ingin melampaui batasan itu. Sepantasnya kita mempedulikan proses keadilan yang terjadi di negara-negara lainnya. Keadilan global bagi Sen dapat teraktualisasi jika seluruh komponen keadilan, khususnya pemahaman imparsial bahwa setiap orang memiliki hak yang paling mendasar untuk diperlakukan secara adil disadari oleh setiap individu. Hak azasi ini menurut Sen menjadi sangat fundamental dalam konsep bernegara, kita dapat memeriksa suatu negara, tidak saja sebagai institusi dalam sistem yang demokratis, tetapi aktualisasinya dalam merawat penegakan keadilan.
Keadilan bagi Sen harus melalui rasionalitas, serta imparsialitas yang terbuka. Namun ia tidak menampik aspek-aspek kemanusiaan kita, yakni kemampuan manusia untuk berbelas kasih, bertanggung jawab serta peduli dengan kebaikan. Aspek-aspek ini menurut Sen penting dalam proses komparatif untuk memahami apa itu keadilan. Baginya, menanyakan tentang apa itu keadilan tidak pernah lepas dari faktisitas kita sebagai manusia.
“The pursuit of theory of justice has something to do with a similar question: what is it like to be a human being?”[9]

Doraemon & Heidegger

Doraemon dan Heidegger
Ketika dunia diperkenalkan pada Doraemon, tahun 1969 silam, tidak hanya anak-anak yang tergila-gila dengan tokoh bulat dan berwarna biru tersebut. Orang dewasa pun merasakan koneksi dengan kecerdasan plot cerita itu. Ditulis oleh dua kartunis legendaris Hiroshi Fujimoto dan Moto Abiko dengan nama pena Fujiko F. Fujio. Sekilas cerita tentang Doraemon terlihat sederhana, kisah sekumpulan anak-anak dengan sebuah robot biru berbentuk kucing. Tetapi bila kita menilik lebih jeli, kisah Doraemon menyimpan makna yang lebih mendalam, kisah-kisahnya mencerminkan bagaimana fantasi manusia terhadap teknologi, relasi manusia dengan alam, persahabatan, rasa berpetualang, dan pentingnya memiliki harapan di dalam hidup.
Nilai-nilai itulah yang membuat serial Doraemon lebih dari sekedar komik & animasi jepang biasa, sang duo penulis Fujiko F. Fujio seperti hendak menyampaikan pesan yang lebih filosofis yaitu perihal faktisitas manusia berada di dunia ini. Analoginya nampak tidak rumit, tokoh utama, Nobita Nobi berteman dengan Doraemon seorang robot kucing dari abad ke-22, berdua mereka berpetualang menggunakan alat-alat canggih yang keluar dari kantung 4 dimensi milik Doraemon. Singkat cerita, secanggih apapun alat-alat yang dimiliki oleh Doraemon, Nobita kerap menyalahgunakan alat tersebut, entah karena disengaja, misalnya untuk alasan dendam (khususnya kepada dua tokoh lainnya yaitu Suneo dan Giant) atau memang karena Nobita polos dan cenderung tidak peka akan tanggung jawab dari alat-alat tersebut.
Menarik bila dipikirkan, bagaimana manusia terinfatuasi dengan teknologi. Khususnya kini, di zaman ketika fiksi ilmiah dengan ilmu ilmiah mulai sulit untuk dipisahkan. Professor Ron L. Mallet dari University of Connecticut misalnya, ia salah satu visionaris yang meyakini bahwa perjalanan lintas waktu dapat ditempuh melalui teknologi laser. Tentunya penemuan semacam ini semakin menguatkan bahwa fantasi laci mesin waktu milik Doraemon mungkin saja dapat terwujud. Begitu juga dengan kisah perjalanan Nobita dan Doraemon menjelajahi galaksi lain dan bertemu dengan makhluk non-teresterial, kisah semacam ini tentu saja tidak menjadi terlalu konyol sekarang, dengan teknologi penjelajahan ruang angkasa kemungkinan besar di masa depan kita dapat melintas antar galaksi. Teknologi fusi, kloning, supercomputer hanya sebagian saja pencapaian manusia di bidang teknologi. Lompatan luar biasa ke era teknologisasi ini tentunya tidak jauh dari impian yang digarap oleh duo Fujiko F. Fujio, siapa tahu sesaat lagi kita semua bisa terbang dengan baling-baling bambu?
Lantas apa permasalahannya? Bila teknologi memang bagian vital, dan tidak dapat dihindarkan dari hidup manusia. Dimana problematikanya? Martin Heidegger di dalam esainya ‘The Question Concerning Technology’ diuraikan secara detil problem relasi manusia dengan kemampuannya berteknologi. Heidegger di awal penyelidikannya membedakan antara Teknologi dan Esensi dari Teknologi. Teknologi menurutnya bukan sekedar suatu instrument, bukan sekedar suatu benda yang berfungsi bagi si manusia. Melampaui itu, bagi Heidegger, ber-teknologi adalah suatu kegiatan yang istimewa bagi manusia. Bila hakekatnya kegiatan berteknologi seharusnya penting bagi subjek manusia tersebut, apa yang kontroversial dari teknologi?
Heidegger yang senang meminjam terma-terma Yunani, menggunakan kata Poiesis milik Plato untuk menggambarkan keistimewaan ber-teknologi, yakni kegiatan subjek untuk melakukan ‘bringing-forth’ atau bila disederhanakan, kegiatan seorang manusia untuk menampilkan ‘benda’ tersebut. Rupanya menurut Heidegger tidak ada bedanya seni dan teknologi itu, kedua kegiatan tersebut sama-sama menekankan bagaimana peran subjek untuk menampilkan sesuatu, dan karakter dari benda/karya yang ditampilkan tidak melulu urusan fungsional semata, tetapi juga bagaimana subjek memaknai dan memberikan nilai. Dalam pengertian ini, nilai yang dimaksud oleh Heidegger yang lebih dalam dari sekedar causa final (ala Aristotelian) adalah Aletheia atau Kebenaran.
Heidegger akan berargumen bahwa melalui teknologi manusia dapat menyibak kebenaran. Apa maknanya menjadi manusia, apa arti superioritas imajinasi dari manusia, bagaimana melalui kreasi ‘techne’ kita dapat melihat suatu totalitas dari realitas perlengkapan (equipmentality) yang ada. Intinya melalui pengalaman berteknologi, manusia dapat menyadari eksistensinya.
Problemnya adalah, proses Poiesis yang seharusnya menyibak kebenaran di dalam relasi manusia dengan ciptaannya, tidak mencapai titik Alethia itu. Manusia berhenti pada tahap ‘enframing’ saja ungkap Heidegger, yaitu tahap dimana manusia hanya selintas lalu melihat teknologi sebagai alat yang berfungsi untuk kenyamanan dan kepuasan kita semata. Manusia hanya melihat versi yang diinginkannya menjadi kebenaran, bukan sepantasnya menjadi kebenaran. Distorsi inilah yang menyebabkan manusia merasa sebagai penguasa dari teknologi, bukan sebagai pemakai teknologi untuk suatu maksud yang lebih universal, misalnya totalitasnya di dalam relasi dengan alam.
Alih-alih menjadi penguasa teknologi, sebaliknya menurut Heidegger obsesi berlebih manusia terhadap teknologi justru menjadikannya manusia yang tidak bebas, menjadikannya budak bagi teknologi. Ia gagal melihat totalitas dari kehadiran teknologi tersebut, ia malah terjerumus dalam realitas praxis, bukan yang epistemik.
Melalui penjelasan Heidegger ini sejatinya kita dapat mengevaluasi, mengapa pengertian teknologi sebagai ciptaan manusia, sering berbenturan dengan alam? Padahal, menurut Heidegger, seharusnya teknologi yang diciptakan oleh manusia menjadi alat penyibak relasi dengan alam. Teknologi justru menjadi konsekuensi dari keberadaan manusia ditengah-tengah alam. Tentunya apa yang terjadi kini pemahaman teknologi sering dimengerti sebagai alat yang justru merusak alam, pengrusakan ini terjadi karena manusia hanya ingin membentuk ‘versi’ kebenaran yang sebatas membawa kenyamanan saja untuknya, bukan untuk alasan yang lebih bijaksana lagi.
Kita kembali lagi pada cerita Doraemon. Di seri manga Doraemon yang kedua, diceritakan bahwa terjadi kericuhan di kediaman Nobi. Nobita dilanda frustasi mengetahui bahwa besok gurunya akan mengadakan ujian matematika dan bahasa dihari yang sama. Nobita yang manja dan pemalas itu tentunya memilih untuk merengek-rengek meminta bantuan kepada Doraemon, dibandingkan mempelajari dua mata pelajaran tersebut. Doraemon yang mudah kasihan, akhirnya memutuskan untuk menolong Nobita. Ia memberikan alat dari masa depan yakni roti tawar penyerap pelajaran. Doraemon menjelaskan pada Nobita bahwa dengan cara menempelkan roti tawar ke buku catatan lalu memakan jiplakan yang ada di roti tawar itu, maka materi pelajaran akan menempel di dalam kepala Nobita. Nobita tidak perlu repot-repot menghapal, apalagi belajar karena dengan memakan roti tawar itu maka secara otomatis Nobita akan mengingat tanpa cela segala isi catatannya.
Dari cerita ini hal lain yang bisa dikaitkan dengan teknologi adalah bagaimana penggunakan dari suatu alat lebih sering dikedepankan hasil akhirnya saja, atau seberapa efisien dan instannya teknologi itu bekerja. Menurut Heidegger, merangkai dan menggunakan teknologi seharusnya menjadikan si manusia itu bijaksana, dan menyadari kebenaran tentang dirinya dan keterlibatannya di dunia. Sehingga ketika kita bicara tentang teknologi seharusnya tidak berhenti pada hal yang remeh seperti inovasi Ipod atau Blackberry, tetapi lebih besar lagi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya, Mesin daur ulang, dan alat-alat lainnya yang dimaksudkan untuk kebaikan kita dan alam.
Lucu bila dipikirkan, bahwa persahabatan Nobita dengan Doraemon, sesungguhnya persahabatan seorang manusia dengan mesin. Anehnya lagi, Nobita justru banyak belajar tentang menjadi manusia yang lebih baik melalui Doraemon yang terbuat dari mesin. Meskipun Doraemon sering terperdaya oleh rengekan Nobita, tetap saja, analogi Doraemon dan Nobita mengingatkan bagaimana kearifan manusia diuji terus menerus ketika berhubungan dengan penggunaan teknologi.

Menggugat Normalitas

Menggugat Normalitas
“I grew up understanding something of the violence of gender norms: an uncle incarcerated for his anatomically anomalous body, deprived of family and friends, living out his days in an “institute” in the Kansas prairies; gay cousins forced to leave their homes because of their sexuality, real and imagined; my own tempestuous coming out at the age of 16; and a subsequent adult landscape of lost jobs, lovers, and homes. All of this subjected me to strong and scarring condemnation but, luckily, did not prevent me from pursuing pleasure and insisting on a legitimating recognition for my sexual life.” Judith Butler
I. Pendahuluan
Normalitas adalah kata yang berbahaya, khususnya dalam memahami orientasi seksual. Tidak saja konsep kata itu kerdil, tetapi dampak dari diterapkannya kata itu pada kehidupan sehari-hari merangsang terjadi prasangka dan kekerasan. Dengan mudahnya pikiran manusia jatuh pada dikotomi seksualitas; orientasi normal dan orientasi abnormal. Bahwa relasi heteroseksual adalah relasi yang pantas, tepat, benar dan normal, sementara itu relasi gay atau homoseksual adalah relasi yang janggal, salah, menyimpang dan abnormal. Diskriminasi terjadi dikarenakan pola pikir dangkal ini, bahwa dikarenakan mereka yang berorientasi seksual berbeda dianggap menyimpang maka harus ‘disembuhkan’, atau harus disadarkan.
Upaya pertama yang harus dilakukan adalah mematahkan kekuasaan kata normalitas ini. Di dalam karyanya The Order of Things, Michel Foucault menjelaskan dengan kritis, bagaimana manusia mengandalkan hidupnya dengan adanya keteraturan serta kategorisasi. Kategorisasi tersebut menjadi pembenaran, lalu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang bisa diterima. Melalui aturan, ideologi, kebijakan, hingga nilai-nilai dalam masyarakat dan keluarga, menjadi alat pelanggengan kategorisasi itu. Mengeliminir diskriminasi terhadap kaum gay harus dimulai dengan mendekonstruksikan pemahaman kategorisasi ini.
II. Scientia Sexualis Vs. Ars Erotica
Michel Foucault berargumen bahwa ada kecenderungan sepanjang sejarah manusia seksualitas selalu dijadikan objek represi. Misalnya, pada abad ke-17 untuk menguasai sirkulasi pengucapan hingga perilaku seksual, masyarakat dan negara menerapkan sensor serta sanksi. Seksualitas dikekang, dikendalikan, bahasa yang menyebutkan seks, atau mengandung insinuasi seksual dianggap tabu. Namun Foucault mengkritik kesunyian yang terjadi pada abad ke-17, karena kesunyian itu tidak serta merta berarti kesantunan, meski dilarang di permukaan, dibalik segala pelarangan itu budaya kemunafikan terjadi. Pelarangan-pelarangan yang diberlakukan gereja serta negara dianggap sebagai syarat suatu peradaban yang maju, yang patuh pada norma kesopanan. Meskipun begitu, Foucault menganggap masyarakat pada zaman itu sangatlah munafik, khususnya kaum aristokorat, yang secara sembunyi-sembunyi menikmati kehidupan seks yang bebas.
Dari analisa awal Foucault, ia telah memahami bagaimana represi terhadap bahasa menjadi metode yang efektif untuk mengkontrol sosial; “As in order to gain mastery over it in reality, it had first been necessary to subjugate it at the level of language, control its free circulation in speech, expunge it from things that were said, and extinguished the words that rendered it too visibly present.” Bahasa menjadi target, bagaimana menekan bahasa seksualitas melalui penggunaan bahasa yang otoritatif, bahasa yang otoritatif itu menentukan apa yang dianggap layak, atau kategori apa yang dianggap benar, serta bagaimana menimpakan hukuman pada mereka yang menyimpang.
Beranjak dari abad ke-17, Foucault menganalisa perkembangan pemahaman seksualitas pada abad ke-19. Meski topik tentang seks mulai diangkat, dibahas dan diteliti secara komprehensif, Foucault menilai transisi budaya mempersepsikan seksualitas menjadi diskursus ini tidak sepenuhnya bebas dari represi. Diskursus menurut Foucault merupakan upaya untuk melegetimasi kekuasaan. Meski para psikoanalisis membahas perihal seksualitas, mereka membahas dengan pengertian bahwa seks hanya sebatas pada fenomena yang menjadi objek observasi semata. Proses observasi hingga penyimpulan suatu teori tentang seksualitas, meskipun sekilas nampak bebas dari represi, sesungguhnya menurut Foucault menyimpan maksud represif. Bahwa tubuh hanya direduksi sebagai objek penelitian, dan seksualitas yang orientasinya homoseksual dianggap sebagai penyakit yang butuh rehabilitasi.
Inilah yang disebut oleh Foucault sebagai Scientia Sexualis, yaitu suatu sikap yang menganggap bahwa konteks pembicaraan tentang seks hanya berkaitan dengan bagaimana konsep seks itu menjadi pokok penelitian serta diskursus. Ini menyebabkan kegiatan seksual dipandang rigid menjadi sesuatu hal yang sangat mekanistik serta selalu mencurigakan, karena harus selalu dikaji, individual telah lupa apa maknya sesungguhnya melakukan relasi seksual. Sedangkan dalam Ars Erotica, Foucault menekankan kenikmatan sebagai tujuan relasi seksual sesungguhnya. Selama ini individual telah dirampas kebebasannya untuk menikmati seks, seks selalu dikuasai oleh kontrol masyarakat, diawasi oleh negara, serta dinilai mana yang dianggap benar atau tidak. Kenyataannya manusia melakukan aktivitas seksual, tidak hanya demi tujuan propagasi, atau reproduktif, tetapi dalam relasi seksual ia mencari apa yang estetis, apa yang dianggapnya indah, menyenangkan serta menyebabkan kenikmatan. Motif kenikmatan inilah yang menurut Foucault telah tergerus dengan kebudayaan diskursus yang terutup, yang tidak memberikan ruang bagi kemungkinan-kemungkinan relasi seksual dengan motif pengalaman akan kenikmatan.
III. Tubuh Sosial
Melalui pisau analisa Foucauldian, kita telah mengetahui bahwa selalu terjadi represi dalam memahami seksualitas. Represi yang dilakukan baik dalam sistem nilai masyarakat, maupun yang dalam bentuk peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara. Atas dasar pandangan inilah maka sesungguhnya tubuh menjadi objek pengawasan, tubuh selalu dicurigai dan selalu dikekang, “Between the state and the individual, sex became an issue, and a public issue no less, a whole web of discourses, special knowledges, analyses, and injunctions settled upon it.” Tubuh tidak lagi milik individual, tetapi ia milik sosial, yang tidak lagi bebas mengekspresikan preferensi seksualnya. Negara memiliki wewenang untuk membentuk wacana apa yang dianggap tepat tentang seks untuk warga negaranya. Komunitas diperbolehkan mengintervensi norma-norma sosial yang dianggap layak.
Diskriminasi terhadap kaum GLBTI terjadi dikarenakan tubuh tidak lagi dianggap otonom, tetapi tubuh yang menjadi milik sosial dan negara. Tubuh yang seharusnya menjadi aktualisasi kebebasan seseorang, kini dikontrol hukum agama, tubuh tersebut diperbolehkan beraktivitas hanya sebatas bila aktivitas itu tidak menganggu kaidah agama dan sosial yang telah ditentukan. Negara berperan penting dalam menegakkan keseragaman pandangan ini, khususnya bila negara acuh melihat kekerasan serta pelecehan yang terjadi terhadap kaum GLBTI. Homophobia semacam ini, yang bersumber dari pemahaman moral yang palsu, sesungguhnya hanya eksekusi kekuasaan negara. Kekuasaan dan seksualitas, Foucault menggarisbawahi, selalu berkaitan, khususnya bagaimana kekuasaan ditegakkan dengan mewacanakan seksualitas, “Power is essentially what dictates its law to sex. Which means first of all that sex is placed power in a binary system: licit and illicit, permitted and forbidden, secondly, power prescribes an order for sex that operates at the same time as a form of intelligibility: sex is to be deciphered on the basis of its relation to the law. And finally power acts by laying down the rule: power’s hold on sex is maintained through language, or rather through the act of discourse that creates, from the very fact that it is articulated, a rule of law.” Kekuasaan yang diberlakukan negara, dalam membingkai pandangan serta opini sosial, sangat berkaitan dengan mengapa homophobia terjadi, khususnya dalam negara seperti Indonesia yang kepemerintahannya masih bimbang antara menegakan hukum universalitas HAM, atau hukum agama, serta ragu-ragu dalam mengutamakan hak sipil, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan preferensi seksual.
Dalam Discipline and Punish, Foucault membuat suatu terminologi yaitu ‘Docile Bodies’ atau tubuh-tubuh yang patuh (submisif). Meski kaitan terminologi yang ia gunakan untuk menguraikan secara sosiologis serta filosofis tentang sistem penjara, namun konsep Tubuh yang Patuh ini dapat juga kita relevansikan dengan bagaimana sosial mengendalikan seksualitas individual. Negara melalui wacana berusaha mendikte seksualitas seseorang, misalnya, diskriminasi serta propaganda yang dibuat bahwa tubuh-tubuh tersebut harus hidup secara ‘bersih’ sebagai cerminan moral, agama serta pikiran yang ‘bersih’, hanya pola seks yang heteroseksual yang dianggap pantas. Dominasi dan represi semacam ini dapat terjadi dan semakin mengkhawatirkan bila negara masih turut campur dalam urusan tubuh-tubuh individual. Inilah yang digugat oleh Foucault bahwa asumsi sosial, prasangka sosial dapat memburuk bila negara mendukung diskriminasi tersebut.
IV. Identitas dan Performativitas
Bila pengekangan terhadap GLBTI terjadi secara fundamental yaitu melalui diskursus, seperti yang diutarakan Foucault berkenaan dengan kebebasan seksualitas, maka perlawanan terhadap ketidakadilan inipun harus melalui diskursus juga. Itulah yang dilakukan oleh Judith Butler, Michael Warner serta Eve Sedgwick dengan mengembangkan Queer Theory. Hal pertama yang perlu didekonstrusikan adalah pandangan esensialis. Mengapa esensialisme? Karena diskriminasi terjadi atas anggapan bahwa manusia membawa identitas gender yang metafisik, bahwa ada totalitas di dalam gender seseorang. Begitu juga secara biologis, yang mereduksi gender secara rigid, bahwa kita terlahir antara menjadi lelaki atau perempuan. Butler menolak totalitas di dalam identitas ini, dengan mengatakan bahwa subjek adalah akumulasi momentum, bukan esensi biologis semata.
Seksualitas dan identitas tidak lepas dari konstruksi sosial, ini telah dibahas dalam bab sebelumnya, bagaimana Foucault menganalisa sejarah seksualitas, yang menunjukan pengertian bahasa tentang seks dapat berubah-ubah secara drastis bergantung pada evolusi pemahaman sosial, serta kekuasaan yang dominan. Perubahan sikap yang lebih sensitive terhadap kaum GLBTI dapat terjadi bila pandangan yang esensialistik serta tertutup tentang identitas gender ini dapat diruntuhkan. Bahwa seseorang tidak perlu dianggap janggal karena ia seorang homoseksual, karena orientasi seksual tidak terberi begitu saja, tetapi suatu proses yang berhubungan dengan pilihan bebas seseorang.
Berbicara tentang identitas kita harus menghindari pemahaman identitas yang hegemonik. Bahwa dalam melihat seseorang kita hanya melihat satu identitas sebagai perwakilan dirinya. Seorang aktivis GLBTI Christina K. Hutchin menjelaskan dalam pengalamannya, “I was also disturbed at the idea of fixing my own identity in a primary way to the category of lesbian. I was defining myself as a fixed identity and perhaps a rather reductively sexualized identity rather than as a subject in ongoing multiple processes of becoming.” Pengakuan Hutchin menjelaskan betapa mudahnya kita jatuh pada posisi biner yang palsu, bahwa berlawanan dengan heteroseksualitas, adalah homoseksualitas, sementara itu Hutchin beranggapan bahwa identitas adalah suatu proses yang cair, atau proses menjadi, karena ia mengakui, tidak selamanya ia seorang lesbian, sebelumnya ia adalah seorang heteroseksual. Apa yang harus dihindari adalah mereduksi identitas seseorang hanya sebatas pada orientasi seksualnya.
Malangnya, kekerasan serta penindasan terhadap kaum GLBTI terjadi dikarenakan identitas hegemonik ini. Mereka yang homophobia hanya mau melihat satu dimensi saja, yaitu dimensi seksualitasnya saja. Diskriminasi terjadi karena pengasingan serta pengucilan yang terjadi atas alasan pandangan biner ini, bahwa diluar heteroseksual, adalah orientasi seks yang menyimpang. Mereka gagal melihat kaum GLBTI sebagai sesama manusia, dengan berbagai kesamaan identitas lainnya. Hutchin mengatakan bahwa harus ada destabilisasi identitas, suatu pola pikir terbuka, bahwa identitas kita selalu berubah, bahwa identitas kita adalah proses kreatif yang terus berjalan dan muncul dalam relasi dengan subjek-subjek lainnya.
Hutchins mengutip Whitehead dalam teori repetisi, bahwa identitas yang menjadi berkaitan dengan pengulangan kebiasaan, pengulangan ini berdasarkan apa yang ia anggap sebagai intensifikasi rasa kesukaan, kecenderungan serta kesadaran seseorang. Proses ini menurut Hutchins terus bergulir, repetisi yang diberlakukan tergantung dengan perasaan serta pilihan subjek untuk dikembangkan.
Begitu juga dengan Judith Butler seorang feminis poststrukturalis yang menekankan bahwa gender adalah performitivitas. Seseorang dikatakan perempuan atau lelaki bukan dikarenakan kondisi biologisnya saja, tetapi gender adalah pengucapan, sikap, diskursus yang dilakukan secara repetitif. Hutchins juga menjelaskan bagaimana repetisi ini menunjukan proses menjadi subjek, “for Butler subjectivity is performative. Identity and identity categories are neither essential nor fixed, nor the outcome of some inner substance of who we are, waiting for fulfillment. Rather identity is formed in moment by moment activity, an activity that requires and creates/constructs a body and is sedimented through time.”
V. Penutup
Melalui pemaparan diatas, kita seharusnya mengkritisir kembali apa yang dianggap normal tersebut? Apakah konsep yang normal benar-benar bermakna secara ontologis, ataukah konsep normal tersebut hanyalah prasangka serta keacuhan kita yang dikonstruksikan secara sosial. Dekonstruksi terhadap mitos usang bahwa heteroseksualitas adalah orientasi seksual yang benar dapat dilakukan bila pemahaman tentang gender serta orientasi seksual bukanlah sesuatu yang baku serta ‘given’, tetapi sesuatu yang dinamis, bahwa seseorang dapat memilih dan menunjukan performitas terhadap identitas yang ia anggap representatif bagi dirinya. Sensitifitas terhadap variasi atau pilihan preferensi seksual dapat terjadi bila setiap orang menggunakan penalaran dibandingkan secara pasif mengikuti suatu norma atau kaidah moral/agama yang tidak kita periksa secara radikal. Sikap keterbukaan semacam inilah yang memungkinkan homophobia-ism dapat diberantas.

Filsafat Kama Sutra

Filsafat Kama Sutra
“Manusia adalah makhluk seksual.” Inilah asumsi yang muncul ketika sekilas menelaah literatur kuno Kama Sutra. Kesalah pahaman yang sering terjadi adalah pandangan yang mengganggap bahwa Kama Sutra hanya menggambarkan secara dangkal tentang nafsu manusia terhadap seks. Nyatanya bila dipahami lebih mendalam, Kama Sutra memberikan ilustrasi yang tidak saja indah, tetapi juga paparan filosofis yang substansial tentang kondisi alamiah manusia.
Endapan Filosfis dari Teks Kama Sutra
 Kama Sutra secara etimologi berarti Kama, atau cinta, gairah, sedangkan Sutra adalah ajaran atau aturan, sehingga dalam pengertian utuhnya Kama Sutra dapat dimengerti sebagai kompendium ajaran-ajaran mengenai cinta. Di dalam ajaran agama Hindu, Kama Sutra dihormati sebagai salah satu dari Veda Smrti. Kedudukan Kama Sutra sebagai Veda Smrti menunjukan bahwa kandungan yang terkompilasi di dalamnya memuat kebijaksanaan dari Veda sebagai kitab suci agama Hindu. Kama Sutra dari Vatsyayana dikenal sebagai salah satu saja dari rangkaian Kama Shastra. Di India, dikenal berbagai macam kitab atau teks yang memuat topik seksualitas dari berbagai nama penulis. Bagaimanapun juga, kedudukan dari teks-teks ini tetaplah Smrti (tafsir) bukan Sruti (wahyu), oleh karena itulah sesungguhnya materi dari Vatsyayana sendiri terbuka untuk perdebatan dan diskusi yang disesuaikan dengan konteks kemajuan zaman.
Dalam mengkompilasikan aturan-aturan relasi intim antara perempuan dan laki-laki, Vatsyayana menggunakan bahasa Sanskerta yang sederhana. Berbeda di zamannya dimana aporisme teks-teks sarat akan metafora dan analogi, Vatsayayana menginginkan karyanya menjadi sedemikian jelas dan mampu dicerna oleh siapapun. Kama Sutra diduga dikompilasikan oleh Vatsyayana pada abad 2 Masehi, teks ini terdiri dari 1250 penggalan aporisme, ia dibagi menjadi 7 bagian besar, dimana 7 bab tersebut terdiri atas 36 subbab. Di dalam sejarah Barat, teks Kama Sutra sendiri baru dikenal pada tahun 1883. Tersibaknya teks Kama Sutra untuk dunia Barat disebabkan oleh seorang penjelajah bernama Sir Richard Francis Burton, meski dengan keterbatasan translasi, Burton adalah orang pertama yang menterjemaahkan Kama Sutra ke dalam bahasa Inggris.
  Kama Sutra dipandang oleh umat Hindu sebagai kitab yang signifikan dalam memandu kehidupan etis manusia. Dimana teks ini mendeskripsikan dengan indah proses keintiman yang terjadi diantara sepasang manusia. Mengapa Kama Sutra disanjung sebagai pedoman penting dalam mencapai kebahagiaan ? Garis besar keyakinan dari agama Hindu adalah cinta. Hinduisme meyakini bahwa proses keintiman mencitrakan eksistensi manusia yang tinggi. Agama Hindu memahami bahwa proses reproduksi dari manusia bukanlah suatu kegiatan yang mekanistik semata, tetapi proses penyatuan tersebut bersifat esensial dan estetis. Disinilah letak spiritualisme Kama Sutra, pemahaman bahwa seks bukanlah habituasi monoton dari manusia, tetapi merupakan suatu proses seni yang alamiah dan agung.
Bagian filosofis dari Kama Sutra terletak di bagian pengantar atau Bab kedua. Pada bagian ini Vatsyayana mengutip Veda, yaitu dalam hubungannya dengan Catur Purusarthas. Catur Purusarthas, atau Empat Tujuan Hidup merupakan pandangan hidup umat Hindu yang mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari pertama, Dharma atau kebaikan, kedua adalah Artha atau kesejahteraan materiil, ketiga adalah Kama, yaitu cinta dan kepuasan indrawiah dan yang terakhir adalah Moksha, atau pembebasan diri menuju Tuhan. Vatsyayana menuliskan, “Dharma lebih baik dari Artha, sedangkan Artha lebih baik dari Kama.”(Kama Sutra I.2.14) Melalui statemen singkat ini Vatsyayana menekankan bahwa kebaikan dan kebijaksanaan adalah pencapaian yang tertinggi apabila dibandingkan dengan kekayaan dan cinta. Kemudian apakah substansinya aktivitas Kama atau cinta, apabila tujuan utama dari manusia adalah Dharma atau kebaikan? Vatsyayana berargumentasi secara baik, dalam realitasnya manusia telah diberikan kemampuan dan keistimewaan untuk merasakan kenikmatan dan mengkontemplasikan kenikmatan, “Seksualitas adalah esensial dalam keberlangsungan hidup manusia”(Kama Sutra II.37).
Memang gratifikasi seksual itu penting ungkap Vatsyayana, tetapi ia juga mengingatkan bahwa kebijaksanaan atau Dharma melampaui segala Artha dan Kama. Ia menuliskan, “Tidak sedikit pula yang dihancurkan, karena membiarkan diri mereka dikuasai oleh nafsu (pradhanya kama)”(Kama Sutra, II.37). Kehancuran yang dimaksud oleh Vatsyayana adalah ketika seseorang gagal dalam mengemban Empat Tujuan Hidup, selepas mengalami kesejahteraan materiil dan cinta, tahap selanjutnya yang lebih tinggi adalah pembebasan atau Moksha. Secara sederhana Vatsyayana menggaris bawahi bahwa segala kepuasan itu adalah tahap dalam kehidupan seseorang, hendaknya ia jangan menganggap bahwa tahap Kama adalah tahap yang final. Pemahaman ini lahir dikarenakan konsep Dukkha, bahwa segala kenikmatan dapat juga menyebabkan kesengsaraan. Kesadaran bahwa kenikmatan itu sementara dan semata-mata hanya satu babak singkat dalam kehidupan manusia, akan mencerahkan dan mendorong manusia mencari kondisi kebijaksanaan yang lebih tinggi.
Kama Sutra : Bukan Teks Pornografis
Kecenderungan orang yang tidak sungguh-sungguh memahami teks Kama Sutra adalah mengklasifikasikan buku ini sebagai teks pornografi. Kesalah pahaman semacam ini sebenarnya sedari lama telah dikecam oleh akademisi Hindu baik di India maupun di Bali. Salah satu yang menyebabkan populernya stigma porno ini disebabkan oleh terjemaahan yang tidak memadai. Para peneliti studi Sansekerta menuding Sir Richard Francis Burton tidak menjabarkan teks Kama Sutra secara koheren. Kebudayaan populer pun lebih kerap mengeksploitasi bagian-bagian dari Kama Sutra yang menjelaskan mengenai tahap-tahap erotis dari hubungan seksual, dibandingkan dengan kebijaksanaan Catur Purusarthas. Ketidak utuhan membaca, maupun memahami, tentu saja tidak akan menyampaikan keseluruhan pesan dari konsep etis yang ingin dipaparkan Vatsyayana.         Diluar dari Kama Sutra, budaya Hindu memang sarat akan pembahasan tentang seksualitas. Namun perlu diingat kembali, bahwa konteks pembicaraan tentang seks itu pun selalu dimaksudkan di dalam koridor hukum kebaikan atau Dharma.
Selain di dalam teks Kama Sutra, kebudayaan Hindu juga mengabadikan rasa hormat mereka terhadap persatuan feminitas dan maskulinitas ke dalam simbol-simbol sakral, dimana simbol-simbol tersebut dapat ditemukan di berbagai kuil di India. Salah satu simbol yang terpenting untuk umat Hindu adalah simbolLinggam dan Yoni. Kedua simbol ini merepresentasikan kesempurnaan Tuhan ketika terjadi peleburan antara aspek Feminim dan Maskulin, persatuan ini diyakini umat Hindu sebagai penyebab keseimbangan alam semesta. Contoh lainnya yang dapat disimak adalah kuil-kuil di Khajuraho yaitu suatu desa di India bagian Madhya Pradesh. Kuil-kuil di desa Khajuraho memang terkenal dengan pahatan-pahatan patungnya yang bermuatan eksotis. Tetapi seni pahat semacam ini pun ada untuk alasan tertentu, dalam filosofinya adalah alamiah dan lazim bagi seseorang untuk menjalani kehidupan penuh dengan Kama atau gairah cinta, tetapi ia akan menjadi objek yang terkekang, apabila tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, mengutip apa yang diutarakan oleh Vatsyayana, “Dapat dilihat bahwa mereka yang terlalu menyerahkan diri pada kehidupan seksual yang berlebih-lebih, maka sesungguhnya mereka memusnahkan diri mereka sendiri” (Kama Sutra II.34)                                      Itulah makna arsitektur dari kuil di Khajuraho, insignia yang menunjukan seni eksotis hanya terletak di bagian luar dari kuil, dimana pahatan-pahatan ini jauh dari kuil dalam dan patung-patung dewata suci Hindu. Melalui struktur kuil inilah dimengerti bahwa manusia harus menghargai kehidupan seksual sebagai babak hidup yang amat alamiah, namun untuk mencapai spiritualitas yang lebih superior, ia harus belajar untuk mengendalikan dan pada akhirnya melepaskan diri dari kepuasaan yang sementara di dunia.
Sebagai penutup dapat dirangkumkan, bahwa Hinduisme sangat menghormati proses keintiman dari sepasang manusia. Melalui keintiman yang sesuai dengan pedoman Dharma maka sesunggunya ia menjalani sebagian dari Yadnya atau ibadahnya. Seperti yang dipaparkan di dalam kitab Veda Sruti Brhadaranyaka Upanisad, “Sesungguhnya ia yang menjalankan yadnya ini (relasi intim/adhopahasam), ia yang mengerti ini, agung pula lah dunianya.”Intinya, Vatsyayana hanya ingin mengemukakan bahwa seksualitas menjadi bermakna bagi seseorang ketika ia paham betapa agung dan spiritualnya aktivitas tersebut.

Balada Cinta

Adakalnya saya merasa kesal dengan sikap Schopenhauer tentang cinta. Ia berpandangan begitu sinis terhadap cinta, dengan mengatakan bahwa sesungguhnya cinta hanyalah kedok bagi dorongan biologis kita. Dalam kata lain, cinta itu sebenarnya hanyalah pemanis dari relasi sesungguhnya yaitu kegiatan propagasi, atau reproduksi.  Pernyataan Schopenhauer meski dingin dan sinis, nyatanya mengandung nilai kebenaran, sebagian besar manusia yang mengaku memiliki cinta, mereka terkadang hanya menginginkan relasi seksual. Tetapi tidak semua cinta bisa diterjemaahkan sebagai gairah seksual, adapula yang menghayati cinta lebih dari dorongan seks semata, tetapi kesempatan untuk berkomitmen, berdialog dan mendewasa.
Pada awalnya, 200.000 tahun yang lalu, kenyataan berpihak pada Schopenhauer. Manusia purba hidup berpindah-pindah, berganti-ganti pasangan, upaya mendekati lawan jenis hanyalah sebatas dorongan seksual dan reproduksi. Tidak ada kompleksnya cinta romantis. Tetapi otak manusia berevolusi, dan terciptalah suatu konsepsi tentang relasi monogami dan cinta romantis. Para biolog seperti Darwin mengatakan bahwa, pendekatan, pengejaran, serta kebahagiaan berpasangan adalah bagian dari kemampuan spesies untuk terus bertahan hidup. Senada dengan Schopenhauer, Darwin akan mengatakan bahwa cinta menjadi modus spesies untuk bisa melanggengkan gennya.
Bila Schopenhauer benar, dan Darwin juga, alangkah menyedihkannya bila ternyata cinta hanyalah impuls semata. Khususnya bagi mereka yang meyakini bahwa cinta tidak sekedar rekayasa otak, tetapi sesuatu yang riil, sesuatu yang menjadi penopang utama seorang manusia. Tetapi di satu sisi, saya menimbang bahwa ada masanya pula cinta terlalu rumit untuk dicerna nalar saya. Cinta jauh lebih jelas, terstruktur serta gamblang dalam pemahaman Darwin dan Schopenhauer. Sementara bagi saya cinta para pujangga, para filosof romantik terlampau membesar-besarkan drama percintaan dengan mengatakan bahwa cinta memang harus gamang, membingungkan, menyiksa serta menyakiti subjek.
Ada alasannya saya menulis ini. Tanpa maksud menceramahi apalagi menjadi pakar soal cinta. Tetapi ini hasil refleksi berpikir saya, yang sangat ingin saya bagi dengan teman-teman pembaca blog. Cinta tidak harus menjemukan seperti Schopenhauer, tetapi cinta juga tidak perlu membunuh seperti anggapan kaum romantis. Cinta bisa memerdekakan, cinta juga bisa menjadi pengada eksistensi kita, tentunya bila kita menginginkan cinta semacam ini.
Cinta yang berkepentingan.
Sebelum protes dengan sub judul ini, saya akan jelaskan mengapa berkepentingan itu sangat mendasar dalam membangun relasi percintaan yang adil. Iya, cinta memang harus adil. Jangan anggap bahwa mendominasi, dan nikmat direpresi oleh pasangan itu adalah hakekat cinta. Itu propaganda tidak konstruktif tentang cinta. Anda harus punya kepentingan dalam percintaan. Bahwa individualitas anda tidak serta-merta lebur ketika anda berpasangan. Anda tetaplah subjek yang sama, yang berhak menjaga individualitas anda, menikmati karakteristik individual anda.
Erich Fromm menawarkan konsep yang menarik, “Standing in Love” dibandingkan “Fallin in Love” Intinya, jangan mencintai karena kita menyukai rasa kecemasan serta kebutaan ketika sedang jatuh cinta. Cintailah seseorang dengan klaritas. Jangan jatuh ketika mencintai, tetapi berdirilah. Ketahuilah secara jelas tentang perasaan cinta tersebut. Apa makna komitmen, bahwa janji tersebut suatu kontrak diantara dua individu, bila salah satunya tidak memenuhi perjanjian tersebut maka tinggalkan cinta itu, atau bahasa kontraktariannya ‘dissolution’ berpisah.
Membaca dua paragraf diatas giliran anda yang kesal kepada saya, anda akan mengerutkan kening lalu bertanya, apa enaknya cinta tanpa romantisisme? Lebih ekstremnya lagi, mungkinkah ada cinta tanpa romantisisme? Jawaban saya sederhana, romantis itu tahap. Itu bukan keseluruhan kisah tentang cinta. Kalau anda hanya menginginkan roman, maka, anda akan terus mengejar ilusi cinta sang pujangga Kahlil Gibran. Tentunya kita ingin bertumbuh dalam soal percintaan. Cinta itu sepantasnya membentuk watak serta membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Alangkah membosankannya bila kita terbentur dalam kehidupan repetitif seorang Giacomo Cassanova, mengulangi rutinitas yang sama, mengejar untuk memuaskan relasi seksual semata?  Tidakah anda ingin melewati babak-babak penting tersebut. Menjalani episode-episode relasi cinta tersebut dan terus berkembang?
Balada Coklat
Hal yang memicu saya untuk menulis topik cinta ini sebenarnya dikarenakan karena coklat. Beberapa saat yang lalu selepas mengisi materi dalam suatu diskusi di Utan Kayu saya terserang alergi yang serius. Tanpa obat alergi di tas, saya tergesa-gesa pulang. Ketika turun dari mobil, saya sudah disorientasi, dengan wajah yang bengkak, kaki yang bengkak begitu juga lengan. Saya jarang menangis, tetapi malam itu rasa sakitnya sungguh-sungguh tidak tertahankan. Saya kesulitan bernafas dan nyaris dilarikan ke rumah sakit.  Untunglah, selepas menegak Dextamine dan Lamisil, reaksi alergi tersebut mereda.
Saya sempat berpikir ketika sedang kesakitan, alangkah konyolnya bila saya harus mati karena coklat? Pagi harinya saya berpikir, betapa kejamnya hidup, saya menyukai coklat, tidak pernah bisa terpuaskan oleh coklat, tetapi kenyataannya saya alergi berat terhadap coklat.
Apa kaitannya dengan cinta? Bodohnya, satu hari sembuh dari serangan alergi tersebut, saya membeli coklat di kantin, alasannya saya butuh coklat untuk menjalani aktifitas yang berat. Yah cinta yang destruktif itu bisa dianalogikan seperti coklat dan alergi. Sudah pasti menyebabkan reaksi kimia yang mematikan tetapi masih saja dikonsumsi. Cinta romantis yang destruktif, menyiksa seperti ini pernah dikatakan oleh Helen Fisher sebagai senyawa yang adiktif di otak. Itu mengapa mereka yang pernah hancur karena cinta, kerap kali mengulangi pola cinta yang destruktif. Karena apa? Tidak berbeda jauh dari memakan coklat menurut saya, sensasinya, kita kecanduan akan sensasinya.

Cinta Dan Transformasi

“For all things are united, themselves with parts of themselves – the beaming sun and earth and sky and sea – whatever things are friendly but have separated in mortal things. And so, in the same way, whatever things are the more adapted for mixing, these are loved by each other and made alike by Aphrodite” Empedocles[1]
Cinta dan Transformasi
Cinta mudah diterjemaahkan kedalam puisi, lagu dan tarian, karena ranah cinta dan irasionalitas jauh lebih mudah diekspresikan, tetapi bisakah kita mendiskursuskan cinta? Ganjil memang, ditengah asumsi bahwa cinta itu tidak logis, sementara ada hasrat manusia untuk memahami secara rasional apa cinta itu. Hasrat ini telah menjadi obsesi berbagai filosof, sebut saja Plato, Empedokles, Kierkegaard, Fromm, Stendhal, hingga filosof India Vatsyayana. Mengapa penting bagi manusia untuk bisa memahami cinta secara diskursif? Bukankah cinta sama indah dan memikatnya di dalam irasionalitas puisi, lukisan, serta simfoni? Kecenderungan manusia untuk melabelkan, mendefinisikan lalu menguraikan peristiwa adalah dorongan utama untuk menaklukan secara komprehensif apa cinta itu. Cinta sarat anomali, tetapi bagi para filosof teka-teki itulah yang mempesona tentang cinta.
Amor Platonicus
Dalam karyanya Symposium, Plato meramu suatu konsep ideal tentang cinta. Melalui pembicaraan 7 tokoh, Phaedrus, Pausanias, Eryximachus, Aristophanes, Agathon, Socrates, dan Alcibiades, mereka masing-masing saling memaparkan pendapat mereka tentang cinta. Sambil menikmati anggur Phaedrus mengawali pidatonya memuja Dewa Eros, “Love is a great god, wonderful in many ways to gods and men, and most marvelous of all is the way he came into being.”[2] Phaedrus menjelaskan bagaimana pada awalnya adalah kekacauan (chaos) lalu kemudian cinta terlahir lalu terbentuklah keteraturan. Filsafat cinta dari Plato memang sarat dengan dihubungkannya cinta dan bagaimana alam semesta terbentuk. Serupa dengan kutipan dari Empedocles, yang menyatakan bahwa alam tercipta karena elemen primordial cinta melekatkan segala-galanya. Pandangan yang romantis memang, tetapi dibalik romantisisme itu, secara mendasar apa yang ingin disampaikan Plato dan Empedocles adalah ada suatu energi yang memungkin segala interaksi dan relasi yang sempurna di dalam alam semesta ini. Bagaimana alam bekerja dalam dinamika serta mekanisme yang tidak saja harmonis tetapi juga indah, bagi para filosof ini berkaitan dengan keberadaan elemen utama yakni cinta.
Plato melalui pidato Pausanias lebih lanjut lagi memaparkan bagaimana cinta dapat dimengerti melalui dua perspektif, Common Aphrodite dan Heavenly Aphrodite[3]. Common Aphrodite adalah cinta yang erotis dan vulgar, pemuasan tubuh serta kepemilikan menjadi tujuan utamanya. Cinta semacam ini menurut Plato adalah cinta yang hedonistik, yang mencari momentum kepuasan. Sementara itu Heavenly Aphrodite mengejar wujud cinta yang berbeda, tidak ada penaklukan disini. Cinta tertinggi dipandang sebagai bentuk persahabatan dua hati, yang tidak ada dorongan nafsu ragawi. Dimana dua orang ini saling menghormati, menikmati pertemanan secara intelektual. Bagi Plato cinta semacam inilah cinta yang terhormat, yang tidak mencari kepuasaan sesaat, tetapi mengejar kebijaksanaan di dalam cinta. Beralih dari Pausanias, pidato Eryximachus menjelaskan pula dua tipe dari cinta, dimana tubuh manusia berada di persimpangan dua kecenderungan ini, “The point is that our very bodies manifest the two species of love.”[4] Tubuh menurut Plato merespon secara berbeda peristiwa cinta, ada yang merespon secara buruk sehingga cinta berubah menjadi racun, merusak tubuh dan menyebabkan kematian, tetapi adapula yang bentuk cinta yang bekerja sebagai obat dan menyegarkan tubuh serta pemikiran. Analogi yang diberikan dalam pidato Eryximachus penting dalam menjelaskan teori cinta Platonian, bahwa setiap manusia memiliki reaksi serta ekspektasi yang berbeda-beda tentang cinta. Tetapi apapun reaksi itu, konsep utamanya adalah cinta merupakan kekuatan yang mampu merubah sesuatu, mampu mentransformasi sesuatu.
Dalam pidato Aristophanes, Plato memperkenalkan teorinya yang terkenal yakni mitos ‘belahan jiwa’. Dikisahkan oleh Aristophanes bahwa pada awalnya manusia diciptakan dewa berpasang-pasangan, saling menempel satu dengan yang lainnya. Meski manusia lemah secara tenaga, tetapi mereka memiliki ambisi yang kuat untuk melawan dewa. Khawatir dengan pemberontakan manusia, Zeus menyambar manusia dengan petir-petirnya, menghukum mereka dengan cara memisahkan mereka dengan pasangannya. “In that condition they would die from hunger and general idleness, because they would not do anything apart from each other. Whenever one of the halves died and one was left, the one that was left still sought another and wove itself together with that, —either way they kept on dying.”[5] Inti dari mitos ini, bagi Plato kehidupan manusia dapat diandaikan seperti manusia yang kehilangan pasangannya. Sepanjang hidupnya ia merasakan kehampaan yang sulit untuk diisi. Pencarian terhadap cinta sejati adalah pencarian terhadap belahan jiwa tersebut, “Love is born into every human being; it calls back the halves of our original nature together; it tries to make one out of two and heal the wound of human nature.”[6] Cinta bagi Plato adalah substansi yang dapat memenuhi kekosongan itu, ia mempersatukan realitas serta relasi yang nampaknya sedemikian kacau dan acak, cinta juga memulihkan jiwa manusia.
Pada pidato Agathon, Plato menjelaskan bahwa kita bisa melihat gejala-gejala cinta. Gejala-gejala itu adalah bukti riil bahwa cinta itu adalah kekuasaan. Seseorang yang menyebabkan jatuh cinta sesungguhnya ia memiliki kekuasaan. Ia yang memberi cinta yang tulus juga memiliki kekuataan dan kekuasaan. Selain itu dalam pidato Agathon, Plato menegaskan lagi bahwa cinta itu tidak saja indah dan menyenangkan tetapi ia juga menginginkan kebaikan dan keadilan. Bagi Agathon cinta adalah serum yang dibutuhkan dalam dunia yang penuh dengan kekerasan. Cinta melembutkan jiwa manusia, ia membuat manusia menjadi beradab, “Love moves us to mildness, removes from us wildness. Giver of kindess never of meaness.”[7] Paparan dari Agathon disetujui oleh pembicara selanjutnya, yakni Socrates, ia menjelaskan bahwa ketika seseorang sedang mencintai sesungguhnya ia menginginkan kebaikan di dalam cinta tersebut. Itu mengapa menurut tokoh Socrates, cinta dan kebaikan sepatutnya tidak terpisahkan, secara ekstremnya, inilah cinta yang sesungguhnya, bukan jenis cinta yang lainnya.
Perdebatan panjang yang diuraikan oleh Plato menunjukan properti dari cinta, begitu juga motif dari kegiatan mencintai tersebut. Konsep cinta dari Plato kongruen dengan dualismenya, dari segi epistemologis ia selalu mengatakan bahwa ada kebenaran doxatic dan kebenaran epistemic, begitu juga dalam metafisikanya, bahwa realitas sesungguhnya adalah dunia idea bukan dunia fisikal dalam keseharian. Berkaitan dengan filsafat cinta Plato, ia juga melihat bahwa ada hirarki ketika memahami cinta. Cinta yang destruktif, ingin menguasai, menyiksa bagi Plato hanyalah bayangan dari cinta, bukan cinta yang sejati, cinta sejati baginya adalah cinta yang baik dan adil. Mengapa manusia mencintai? Menurut Socrates karena cinta adalah ‘nature’ dari surga, ia selalu ingin melampaui mortalitas ketubuhannya, ia ingin mencapai kesempurnaan itu.
Dari Otak Turun Ke Hati
Cinta memang lahir dari banyak tafsir mistifikasi. Tidak terhitung jumlah mitos-mitos dan simbol-simbol tentang cinta yang melibatkan tragedi dan kesengsaraan. Setiap orang menginginkan kisah dongeng dimana cinta menumpas keburukan dan pasangan yang saling mencintai tersebut hidup sejahtera selamanya. Cinta dianggap sebagai suatu panacea. Suatu ramuan yang dapat membuat segala keburukan dan kebingungan sirna dalam sekejap. Nyatanya cinta tidak bekerja seperti itu. Cinta di dalam dunia riil membutuhkan proses, bahkan Russell mengatakan cinta paling tidak harus memiliki stabilitas.
Kata stabilitas tidak selalu kongruen dengan konsepsi tentang cinta, apalagi cinta selalu diasosiasikan dengan gairah dan petualangan. Tetapi banyak filosof memilih cinta yang stabil, dengan kaitannya dalam menghindari kesengsaraan. Kita ambil contoh Erich Fromm, ia mengkritisir terma ‘jatuh cinta’, mengapa manusia harus jatuh cinta? Ia menegaskan kata ‘jatuh’ atau ‘falling’, haruskah manusia jatuh? Seolah-olah pengalaman mencintai harus mengalami insiden yang carut marut dimana kita selalu terperosok? “Love is an activity, not a passive affect; it is a ‘standing in’, not a ‘falling for’.”[8] Erich Fromm melakukan analisa psikologis tentang cinta, bahwa cinta yang seringkali menyebabkan kesengsaraan bagi manusia adalah cinta yang berakar pada mitos. Mitos apa? Kita ambil contoh mitos yang digunakan oleh Plato dalam Symposium, Plato menjelaskan bagaimana manusia ketika zaman awal penciptaanya sesungguhnya adalah sepasang manusia yang menjadi satu. Terpisahnya dengan pasangan jiwa itulah yang menyebabkan kita hidup dalam kegelisahan. Atas dasar mitos inilah maka manusia selalu meyakini bahwa untuk melengkapi kehidupannya ia harus mencari pasangan yang sudah ditakdirkan bersamanya. Sungguh berat misi untuk mencintai semacam ini, Fromm akan mendebat, “Another form of Pseudo Love is what we may be called ‘sentimental love’. Its essence lies in the fact that love is experienced only in phantasy and not in the here and now relationship to another person who is real.”[9]
Cinta Pseudo, Fromm menjabarkan, adalah suatu kondisi dimana manusia hidup dalam atmosfir cinta dalam fantasi. Kita mencari sentimentalitas dan drama dalam cinta, seperti apa yang telah dibentuk dan diajarkan kepada kita secara kultural, sementara kita melalaikan apa yang terjadi secara kekinian di dalam hidup kita. Manusia ingin cinta yang fantastis, disinilah letak problemnya, bagi Fromm cinta adalah relasi yang lahir dari emosi manusia yang menginginkan keintiman. Manusia sering memfantasikan bentuk dan objek cinta mereka, fantasi terhadap forma-forma inilah yang melalaikan pesan kesederhanaan dari cinta. Cinta adalah tentang pengalaman, kompatibilitas dan relasi kepercayaan. Fromm akan menolak segala bentuk romantisme dan mistifikasi tentang cinta.
Antropolog dan juga filosof Helen Fisher banyak menyempurnakan pendekatan psikologi Fromm berkenaan dengan kapabilitas manusia untuk mencintai. Helen Fisher adalah salah satu ilmuwan yang menjustifikasi bahwa cinta bukanlah suatu bentuk emosi seperti kemampuan emotif kita untuk merasakan senang, sedih, marah dan yang lainnya, Fisher meyakini kemampuan kita untuk mencintai adalah suatu ‘drive’ atau dorongan. Hal ini cukup mencengangkan karena ‘drive’ atau dorongan dapat dimengerti sebagai suatu kondisi dasar manusia seperti halnya dorongan untuk makan dan minum.
Fokus utama dari Fisher adalah meneliti aktivitas dari cinta, baik segi konstruktif dari cinta, hingga kekuatan destruktifnya. Fisher menjelaskan secara Darwinian, bahwa otak kita telah berevolusi menjadi tiga sistem besar, yang pertama adalah bagian otak yang berhubungan dengan dorongan seksual, bagian kedua adalah otak yang berhubungan dengan infatuasi, fantasi atau kemabukan, serta yang ketiga adalah yang berkaitan dengan kemampuan kita untuk berada dalam suatu ikatan yang menyangkut toleransi, dan rasa aman. Tiga sistem otak ini dikatakan oleh Fisher tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga beberapa hewan mamalia, itulah mengapa ia menyebutkan sebagai tiga sistem besar dari otak mamalia.
Melalui pemahaman dari tiga sistem otak inilah maka sesungguhnya kita dapat memahami kecenderungan aktivitas cinta dari seseorang. Mereka yang menganggap seks sebagai cinta maka akan lebih sering menggunakan bagian otak pertama, yang dikatakan oleh Fisher sebagai bagian otak yang memproduksi testosteron. Sementara mereka yang menganggap cinta adalah komitmen dan loyalitas maka akan lebih sering menggunakan sistem otak bagian ketiga yaitu bagian otak yang memproduksi endorphin. Sistem otak bagian kedua adalah yang paling unik dikatakan oleh Fisher, karena muara segala pembahasan kita tentang cinta yang kompulsif, obsesif, agresif, dan penuh dengan infatuasi dapat dijelaskan melalui aktifitas sistem otak ini. Otak dibagian ini dipahami Fisher sebagai otak yang memproduksi dopamine. Apa itu dopamine? “Dopamine is commonly associated with the pleasure system of the brain, providing feelings of enjoyment and reinforcement to motivate a person proactively to perform certain activities. Dopamine is released (particularly in areas such as the nucleus accumbens and ventral tegmental area) by naturally rewarding experiences such as food, sex, drugs and neutral stimuli that become associated with them.”[10]
Penjelasan dari Fisher memberikan pendasaran ilmiah mengapa manusia tergila-gila dengan cinta, mengapa manusia rela mati demi mempertahankan cinta? Ternyata asupan kimia yang bernama dopamine yang menyebabkan kita dapat menanggung penderitaan dan intrikasi dari cinta. Dopamine tidak saja memberikan kenikmatan, tetapi juga merangsang dan memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Fisher memberikan penjelasan bagaimana otak manusia berevolusi, dan bagaimana kita telah terhabituasi menggunakan otak yang berurusan dengan gairah ini. Bukankah manusia makhluk yang bebas? Sehingga sesungguhnya ia bisa mengkontrol aktivitas cintanya? Tetapi mengapa ia selalu jatuh pada cinta yang sarat dengan konflik dan kesusahan?  Hal ini dapat dijawab dengan pengaruh dari dopamine tersebut, “…dopamine can produce feelings of ecstasy, as well as focused attention, enormous energy and intense motivation to win a reward.”[11] Di dalam pengertian ini dopamine mengandung zat kimia yang ekuivalen dengan amphetamine atau kokain. Sehingga selain kimia ini mendorong kemampuan fokus dan obsesi seseorang, tetapi juga sangat adiktif.
Melalui habituasi kita meyakini bahwa cinta harus penuh dengan siksa, dilema dan pengorbanan. Ini adalah simbol-simbol kemurnian dari cinta, seperti yang diutarakan oleh Aeschylus, “He who learns must suffer. And even in our sleep, pain that cannot forget falls drop by drop upon the heart, and in our own despair, against our will, comes wisdom to us by the awful grace of God.” Selepas mengalami tragedi di dalam cinta kita menuai kebijaksanaan, kesengsaraan tidak sekedar fase di dalam percintaan, tetapi justru menjadi tanda terhadap komitmen atau loyalitas seseorang. Kerelaan kita untuk menanggung kesengsaraan demi seseorang menunjukan integritas kita. Aktivitas mencintai menjadi suatu momen bagi seseorang untuk mengeksplorasi emosi-emosinya, entah itu senang, marah, berharap, kecewa maupun berduka. Bisakah manusia membangun cinta yang diidam-idamkan Fromm dan Russell, cinta yang ‘standing in’ dan cinta yang bersih dari mitos?
Cinta, Tubuh dan Kenikmatan
Ketika cinta bermetamorfosis menjadi relasi seksual, dua reaksi telah kita pahami dari uraian di subbab sebelumnya. Pertama tubuh mengkorupsi kemurnian cinta, bila kita mengambil posisi argumen seorang Platonian, tetapi dari segi Fromm, relasi tubuh adalah tahap normatif dalam hubungan percintaan manusia. Begitu juga menurut Fisher yang selalu mengutip Darwin, bahwa relasi seksual adalah drive utama manusia, bahwa gairah seksualitas dan nantinya berreproduksi telah tertanam di dalam otak. Satu lagi argumen tentang cinta dan tubuh dapat dibahas dalam pembahasan ini adalah tentang tubuh dan seni erotika. Vatsyayana, dalam karyanya Kama Sutra menjelaskan bagaimana indah proses keintiman yang terjadi diantara sepasang manusia. Mengapa Kama Sutra disanjung sebagai pedoman penting dalam mencapai kebahagiaan ?
Vatsyayana meyakini bahwa proses keintiman mencitrakan eksistensi manusia yang tinggi. Ia  memahami bahwa proses reproduksi dari manusia bukanlah suatu kegiatan yang mekanistik semata, tetapi proses penyatuan tersebut bersifat substansial dan estetis. Disinilah letak spiritualisme Kama Sutra, pemahaman bahwa seks bukanlah habituasi monoton dari manusia, tetapi merupakan suatu proses seni yang alamiah dan agung. Bagian filosofis dari Kama Sutra terletak di bagian pengantar atau Bab kedua. Pada bagian ini Vatsyayana mengutip Veda, yaitu dalam hubungannya dengan Catur Purusarthas. Catur Purusarthas, atau Empat Tujuan Hidup merupakan pandangan yang mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari pertama, Dharma atau kebaikan, kedua adalah Artha atau kesejahteraan materiil, ketiga adalah Kama, yaitu cinta dan kepuasan indrawiah dan yang terakhir adalah Moksha, atau pembebasan diri menuju Tuhan. Vatsyayana menuliskan, “Dharma lebih baik dari Artha, sedangkan Artha lebih baik dari Kama.”(Kama Sutra I.2.14) Melalui statemen singkat ini Vatsyayana menekankan bahwa kebaikan dan kebijaksanaan adalah pencapaian yang tertinggi apabila dibandingkan dengan kekayaan dan cinta. Kemudian apakah substansinya aktivitas Kama atau cinta, apabila tujuan utama dari manusia adalah Dharma atau kebaikan? Vatsyayana berargumentasi secara baik, dalam realitasnya manusia telah diberikan kemampuan dan keistimewaan untuk merasakan kenikmatan dan mengkontemplasikan kenikmatan, “Seksualitas adalah esensial dalam keberlangsungan hidup manusia”(Kama Sutra II.37).
Dalam pengertian Vatsyayana yang kemudian diadopsi oleh Michel Foucault dalam teori Ars Erotica. Guna tubuh adalah untuk mencapai kenikmatan. Vatsyayana menegaskan bahwa cinta adalah kenikmatan. Bahkan simbol lingam-yoni menunjukan bahwa proses keintiman sepasang manusia merupakan bentuk tertinggi dari cinta. Kepuasan itu sederhana, transendental dan indah.
Penutup
Tiga subbab yang telah diuraikan membahas persoalan cinta dari pendekatan yang berbeda-beda. Tetapi satu persamaan yang dapat digarisbawahi, bahwa cinta adalah penyebab transformasi. Baik transformasi ala Platonian yang ingin lepas dari penjara tubuh dan mencapai Heavenly Aphrodite, atau tranformasi biologis ala Darwinian dan Fisher yang menunjukan betapa menariknya aktifitas otak manusia ketika ia tengah jatuh cinta. Sedangkan bagi Vatsyayana, transformasi relasi tubuh dipandang sebagai tahap luhur dari cinta. Bahwa pencapaian keintiman seksual adalah forma tertinggi dari cinta. Cinta adalah sumber yang memungkinkan transformasi-transformasi ini. Bila kembali pada kutipan Empedocles di awal makalah ini, ia menjelaskan dengan sangat indah, bagaimana secara kosmogonik, alam raya ini mampu bersatu dan membentuk suatu tatanan yang selaras dikarenakan ada perekatnya, yaitu cinta.